Adab-adab Safar
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)
1. Istikharah Sebelum Safar
Apabila seseorang bertekad untuk melakukan safar, disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah ta’ala. Dia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa dengan doa istikharah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
“Ya Allah, sungguh aku meminta pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Maha berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, maka berilah aku kemampuan untuk melakukannya. Mudahkanlah urusanku dan berilah aku barakah padanya. Namun jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) jelek bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah urusan itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. Tentukanlah kebaikan itu untukku di manapun dia, dan jadikanlah aku ridha dengannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud no. 1538, dan lainnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah membawakan ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi shalallahu a'laihi wa salam : فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا (pada seluruh perkara): “Lafadz ini umum namun yang dimaksud adalah khusus. Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab, haram, dan makruh, tidak disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang harus dia pilih.” (Fathul Bari, 11/188)
Oleh karena itu, safar yang wajib dan mustahab yang jelas, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat istikharah. Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.
2. Musyawarah Sebelum Safar
Dianjurkan bagi orang yang hendak melakukan safar untuk bermusyawarah dengan orang yang dipercaya agamanya, berpengalaman, serta mengetahui tentang safar yang akan dia lakukan. Allah ta'ala berfirman:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159)
Perintah ini ditujukan kepada Nabi shalallahu a'laihi wa salam, padahal beliau shalallahu a'laihi wa salam adalah manusia yang paling baik dan paling benar pandangannya. Beliau shalallahu a'laihi wa salam bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan. Demikian pula khalifah-khalifah setelahnya, mengajak orang-orang yang shalih dan memiliki pandangan yang baik untuk bermusyawarah dengan mereka. (Syarh Riyadhis Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, 2/520)
Maka, bermusyawarah sebelum safar merupakan petunjuk Nabi shalallahu a'laihi wa salam yang seharusnya diikuti.
3. Menyiapkan Bekal Safar
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Seorang musafir tidaklah pantas berkata: ‘Aku akan safar tanpa bekal. Cukup dengan bertawakkal.’ Ini adalah ucapan bodoh, karena membawa bekal dalam safar tidaklah mengurangi maupun bertentangan dengan tawakkal.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 121)
Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Penduduk Yaman pernah naik haji tanpa membawa bekal. Mereka berkata: ‘Kami bertawakkal kepada Allah ta’ala, ’ Setelah tiba di Makkah, ternyata mereka meminta-minta kepada orang-orang di sana. Lalu Allah ta’ala menurunkan ayat teguran:
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.” (Al-Baqarah: 197) [Shahih Al-Bukhari no. 1523]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (3/449) berkata: “Al-Muhallab berkata: ‘Dalam hadits ini terdapat faedah bahwa meninggalkan meminta-minta kepada orang lain termasuk ketakwaan’.”
4. Membawa Teman dalam Safar
Dianjurkan bagi musafir untuk membawa teman yang bisa membantu tatkala dibutuhkan. Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
“Seandainya manusia mengetahui apa-apa yang ada pada safar sendirian sebagaimana yang aku ketahui, maka seorang musafir tidak akan melakukan safar pada malam hari sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 2998 dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma)
Adapun hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu:
نَدَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم النَّاسَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ فَانْتَدَبَ الزُّبَيْرُ ثُمَّ –ثَلَاثَ مَرَّاتٍ- فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوَارِيٌّ وَحَوَارِيَّ الزُّبَيْرُ
“Pada perang Khandaq, Nabi shalallahu a'laihi wa salam menawarkan (untuk menjadi mata-mata) kepada para sahabatnya. Maka Az-Zubair segera menyambutnya. (Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam mengulangi tawarannya sampai tiga kali, dan Az-Zubair selalu menyambutnya). Kemudian Rasulullah n bersabda: ‘Setiap nabi punya penolong, dan penolongku adalah Az-Zubair’.” (HR. Al-Bukhari no. 2997)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya seseorang safar sendirian dalam keadaan darurat, atau untuk kemaslahatan yang tidak didapatkan melainkan dengan safar sendirian, seperti mengutus mata-mata (dalam perang). Sedangkan safar sendirian selain keadaan tersebut adalah makruh. Bisa jadi, pembolehan (safar sendirian) itu adalah saat dibutuhkan pada kondisi aman. Sedangkan pelarangan safar sendirian itu adalah ketika kondisi bahaya, sementara tidak ada kepentingan mendesak untuk melakukan safar.” (Fathul Bari, 6/161)
5. Memilih Ketua Rombongan
Disunnahkan memilih ketua rombongan yang paling berilmu dan berpengalaman sebagai penanggung jawab urusan-urusan mereka yang berkaitan dengan safar. Seluruh rombongan wajib menaatinya dalam perkara yang membawa kepada kemaslahatan safar. Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam bersabda:
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila tiga orang akan berangkat safar hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir (ketua rombongan).” (HR. Abu Dawud no. 2608 dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah c)
6. Menitipkan Keluarga, Harta, dan Apa Saja yang Diinginkan kepada Allah ta’ala
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, dari Nabi shalallahu a'laihi wa salam, beliau bersabda:
إِنَّ لُقْمَانَ الْحَكِيمَ كَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا اسْتُوْدِعَ شَيْئًا حَفِظَهُ
“Sesungguhnya Luqman Al-Hakim pernah berkata: ‘Sesungguhnya Allah k apabila dititipi sesuatu pasti menjaganya’.”
Sebaliknya, keluarga yang ditinggal juga disyariatkan untuk menitipkan orang yang akan melakukan safar kepada Allah l dengan membaca:
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ
“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu, dan penutup amalmu.” (HR. Abu Dawud no. 2601, dengan sanad yang shahih, dari Abdullah Al-Khatmi z. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud. Asy-Syaikh Muqbil t berkata dalam Al-Jami’ Ash-Shahih [2/503]: “Hadits shahih menurut syarat Muslim.”)
7. Disunnahkan Berangkat pada Hari Kamis
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 2950) dari Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Bahwasanya Nabi shalallahu a'laihi wa salam berangkat ketika perang Tabuk pada hari Kamis, dan adalah beliau n menyukai safar pada hari Kamis.”
Disunnahkan pula berangkat di waktu pagi, karena Rasulullah n telah berdoa:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
“Ya Allah, berilah barakah untuk umatku di waktu pagi mereka.”
Apabila mengutus pasukan, beliau n juga memberangkatkan mereka di waktu pagi. (HR. Abu Dawud, no. 2602, At-Tirmidzi no. 1212 dari Shakhr ibnu Wada’ah Al-Ghamidi z. Lihat Shahihul Jami’ no. 2180, Al-Misykat no. 3908, Shahih Abi Dawud no. 2270)
8. Bertakbir Tiga Kali Ketika Sudah Naik Di Atas Kendaraan
Kemudian membaca doa berikut ini:
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ
”Maha Suci Dzat yang telah menundukkan semua ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridhai dalam safar ini. Ya Allah, ringankanlah atas kami safar ini, pendekkan perjalanan jauh kami. Ya Allah, Engkaulah teman safar kami dan pengganti kami dalam mengurus keluarga yang kami tinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar, perubahan hati ketika melihat sesuatu dan dari kejelekan di saat kami kembali mengurus harta, keluarga, dan anak kami.” (HR.Muslim no. 1342 dari Ibnu Umar c)
9. Bertakbir Tatkala Mendaki (Naik) dan Bertasbih Ketika Menurun
Disunnahkan bagi musafir untuk bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) sekali, dua atau tiga kali, tatkala perjalanan menaik dan bertasbih (mengucapkan Subhanallah) tatkala perjalanan menurun. Berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu anhu, dia berkata:
كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
”Dulu apabila kami (berjalan) menaik, kami bertakbir, dan apabila turun kami bertasbih.” (HR. Al-Bukhari no. 2993)
Begitu pula hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhu, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَجُيُوشُهُ إِذَا عَلَوْا الثَّنَايَا كَبَّرُوا وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا
“Kebiasaan Nabi shalallahu a'laihi wa salam dan pasukannya, apabila mereka mendaki bukit-bukit (berjalan naik), mereka bertakbir. Apabila turun, mereka bertasbih.” (HR. Abu Dawud no. 2599, lihat Shahih Abi Dawud no. 263)
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, beliau bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا قَفَلَ مِنْ الْحَجِّ أَوِ الْعُمْرَةِ كُلَّمَا أَوْفَى عَلَى ثَنِيَّةٍ أَوْ فَدْفَدٍ كَبَّرَ ثَلَاثًا
“Kebiasaan Nabi shalallahu a'laihi wa salam apabila kembali bepergian dari haji atau umrah, tatkala melewati bukit atau tempat yang tinggi, beliau bertakbir tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no. 6385 dan Muslim no. 1344)
Hal ini sepantasnya dilakukan oleh seorang musafir, baik tatkala berada di udara (seperti di atas pesawat terbang) ataupun tatkala berada di atas bumi (darat).
10. Berjalan pada Malam Hari
Disunnahkan bagi musafir untuk berjalan pada malam hari, berdasarkan hadits Anas radhiyallahu anhu, beliau berkata: Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الْأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah kalian berjalan pada malam hari (tatkala safar) karena sesungguhnya bumi itu dilipat (dipendekkan) pada malam hari.” (HR. Abu Dawud no. 2571, dishahihkan oleh Asy-Syaih Al-Albani t di dalam Ash-Shahihah no. 681. Lihat juga Shahihul Jami, no. 4064)
11. Memperbanyak Doa Ketika Safar
Disunnahkan pula bagi musafir untuk berdoa pada sebagian besar waktunya tatkala safar karena doanya mustajab, selama tidak ada hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa, seperti memakan dan meminum makanan/ minuman yang haram. Anas radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang tidak akan ditolak: doa orangtua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpuasa, dan doa orang yang sedang safar.” (HR. Al-Baihaqi, 3/345. Lihat Ash-Shahihah no. 596)
12. Berdoa Ketika Singgah
Berdasarkan hadits Khaulah bintu Hakim radhiyallahu anha, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam bersabda:
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barangsiapa singgah di suatu tempat kemudian mengucapkan:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
(Aku berlindung dengan Kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan),
maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakannya sampai dia beranjak dari tempat itu.” (HR. Muslim no. 2708)
13. Segera Pulang Menemui Keluarga Jika Telah Selesai Urusannya
Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar itu bagian dari azab (melelahkan), menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka apabila salah seorang di antara kalian telah menyelesaikan urusannya, bersegeralah pulang menemui keluarganya.” (HR. Al-Bukhari no. 1804, Muslim no. 1927, dari Abu Hurairah z)
14. Mendatangi Keluarganya pada Awal Siang atau Pada Akhir Siang Bila Tidak Mampu
Anas radhiyallahu anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَا يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلًا وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam tidak mendatangi keluarganya pada malam hari (tatkala pulang dari safar). Beliau mendatangi mereka pada waktu siang atau sore hari.” (HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1938)
15. Jika safar cukup lama, dilarang mendatangi keluarganya di malam hari, kecuali ada pemberitahuan sebelumnya
Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِذَا أَطَالَ الرَّجُلُ الْغَيْبَةَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ طُرُوقًا
“Rasulullah shalallahu a'laihi wa salam melarang seseorang yang telah lama melakukan safar untuk mendatangi keluarga/istrinya pada malam hari.” (HR. Muslim no. 1928)
Faedah: Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menjelaskan dalam kitab mereka bahwa larangan ini berlaku bagi yang datang mendadak tanpa pemberitahuan. Adapun musafir yang sudah memberitahu sebelumnya, maka tidak termasuk dalam larangan ini. Wallahu a’lam. (Fathul Bari, 9/252, Syarh Shahih Muslim, 13/73)
16. Membaca Doa Ketika Melihat Kampungnya
Anas radhiyallahu anhu berkata:
أَقْبَلْنَا مَعَ النَّبِيِّ n حَتَّى إِذَا كُنَّا بِظَهْرِ الْمَدِينَةِ قَالَ: آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ؛ فَلَمْ يَزَلْ يَقُولُهَا حَتَّى قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ
“Kami datang bersama Nabi shalallahu a'laihi wa salam, hingga ketika kami melihat kota Madinah, beliau shalallahu a'laihi wa salam mengucapkan:
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
‘Orang-orang yang kembali, bertaubat, beribadah, dan hanya kepada Rabb kami semua memuji.’
Beliau n terus membacanya sampai kami tiba di Madinah.” (HR. Muslim no. 1345)
17. Melakukan shalat dua rakaat di masjid terdekat ketika telah tiba
Apabila seseorang telah kembali dari safarnya, hendaklah ia mendatangi masjid dan melakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat qudum (shalat datang dari safar), sebelum menemui keluarganya. Hal ini berdasarkan hadits Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu :
كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ بَدَأَ بِالْمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam apabila kembali dari suatu safar, beliau shalallahu a'laihi wa salam memulai dengan mendatangi masjid lalu melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu berkata: “Dulu kami bersama Nabi shalallahu a'laihi wa salam dalam suatu safar. Tatkala kami tiba di Madinah, Rasulullah Shalallahu a'laihi wa salam berkata kepadaku:
ادْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Masuklah masjid kemudian shalatlah dua rakaat.” (HR. Al-Bukhari no. 3087)
Kebanyakan manusia lalai dari sunnah ini, mungkin karena tidak tahu atau karena menyepelekan. Namun sepantasnya setiap muslim menghidupkan sunnah ini. Wallahul muwaffiq.
Ini adalah sebagian dari adab-adab safar. Bagi yang menginginkan pembahasan lebih luas, silakan membaca dan merujuk kitab Al-Majmu’ karya An-Nawawi rahimahullah dan Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim rahimahullah, serta Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Wallahu a’lam.
PERSIAPAN BAGI YANG INGIN SAFAR MENGHADIRI DAUROH AGAR MEMPERHATIKAN ADAB ADAB SAFAR
DISEBARKAN OLEH
WA FAWAID ILMIAH WAL DURUS .
Salafy Jambiiy