Selasa, 11 Agustus 2015

Teman dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Beragama Seseorang 3

Silsilah Rambu-Rambu Pertemanan 18

Teman dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Beragama Seseorang (Bag. 3)

📌 Mewaspadai teman yang buruk

Teman yang buruk sangat berbahaya bagi kehidupan seseorang baik di dunia maupun di akhirat. Karena bersahabat dengannya tidaklah membuahkan apapun kecuali penyesalan:

يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا. لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنسَانِ خَذُولًا

“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku, dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 28-29)

Sikap berhati-hati dari teman yang buruk, sesungguhnya berlaku juga bagi para pejabat pemerintahan. Mengingat, betapa besarnya pengaruh teman yang buruk bagi berbagai kebijakan mereka. Di dalam kitab Riyadhush Shalihin, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab khusus terkait dengan hal ini. Beliau berkata: “Bab: Hasungan terhadap hakim dan pemimpin bangsa serta pejabat pemerintahan lainnya dari agar mencari teman yang baik dan berhati-hati dari teman yang buruk.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Engkau bisa mendapati bahwa di antara para pemimpin itu ada yang baik dan suka dengan kebaikan. Namun, manakala Allah subhanahu wa ta'ala memberinya teman-teman yang buruk, lalu wal’iyadzu billah mereka menghalanginya dari kebaikan yang diinginkannya, menghiasi sesuatu yang buruk hingga nampak baik, dan menanamkan kepadanya kebencian kepada para hamba Allah subhanahu wa ta'ala.

Engkau pun bisa mendapati di antara para pemimpin itu ada yang kurang baik. Namun tatkala teman-temannya dari kalangan orang-orang baik, yang selalu menunjukinya kepada kebaikan, memberikan motivasi dan mengarahkannya kepada segala hal/kebijakan yang membuahkan rasa cinta antara dia dengan rakyatnya, akhirnya menjadi baik keadaannya. Dan orang yang terjaga itu adalah yang dijaga oleh Allah subhanahu wa ta'ala.” (Syarh Riyadhish Shalihin)

Teman yang buruk itu bermacam-macam. Terkadang dari jenis pelaku kemaksiatan (pengekor syahwat), atau dari jenis ahlul bid’ah[4] dan orang-orang yang menyimpang agamanya. Semuanya harus diwaspadai. Pelaku kemaksiatan (pengekor syahwat) dapat menyeret siapa saja yang berteman dengannya ke dalam kemaksiatan dan syahwat. Demikian pula ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang agamanya akan menyesatkan siapa saja yang berteman dengannya.

Bahkan menurut Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, berteman atau bermajelis bersama ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang dengan alasan untuk mengembalikan mereka kepada al-haq tidak dibenarkan juga. Karena mereka akan menyampaikan kerancuan-kerancuan berpikirnya (syubhat) dan enggan untuk kembali kepada al-haq.[5] (Lihat Al-Ibanah 2/472)[6]

Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya: “Adakah contoh kasus tentang orang-orang yang tersesat (agamanya) karena teman?” Maka jawabnya adalah: “Ada, bahkan banyak.”

Diantaranya adalah:

1⃣. Abu Thalib terhalang dari Islam karena pengaruh temannya.

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari (no. 3884): “Saat menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang menjenguknya. Ternyata di sisi Abu Thalib telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah (tiada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya kecuali Allah, pen.), sebuah kalimat yang akan kujadikan hujjah (pembelaan) untukmu di hadapan Allah’. Maka berkatalah Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah: ‘Apakah kamu benci terhadap agama Abdul Muththalib (agama berhala, pen.)?!’ Setiap kali Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menawarkan kalimat Laa ilaaha illallah kepada Abu Thalib, maka setiap kali pula Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah menimpalinya dengan perkataan di atas. Hingga kata terakhir yang diucapkan Abu Thalib kepada mereka adalah: ‘(Aku) di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala)’.”

Demikian pula secara lebih tegas disebutkan dalam Shahih Muslim (no. 39): “…Dia (Abu Thalib) berada di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala) dan tidak mau mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Betapa bahayanya teman yang buruk terhadap seseorang. Kalau tidak ada pengaruh dari dua orang tersebut (Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah, pen.) bisa jadi Abu Thalib menerima ajakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah dan wafat sebagai pemeluk agama Islam.” (Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 1/224)

2⃣. Abu Dzar Al-Harawi terseret ke dalam madzhab Asy’ari karena kedekatannya dengan Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib

Di dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ (17/558-559) dan Tadzkiratul Huffazh (3/1104-1105) karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah disebutkan bahwa Abu Dzar Al-Harawi, seorang ulama terkemuka di masanya terseret ke dalam madzhab sesat Asy’ari, disebabkan kedekatannya dengan tokoh madzhab tersebut yang bernama Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib. Bermula dari pertemuan pertama di Kota Baghdad, kemudian disusul dengan pertemuan kedua, dan demikian seterusnya. Hingga akhirnya terseret ke dalam madzhab Asy’ari, sebagaimana yang dinyatakan Abu Dzar Al-Harawi sendiri: “Akhirnya aku mengikuti madzhabnya.”

Tidak sampai di situ, ia pun kemudian menyebarkan madzhab Asy’ari tersebut di Kota Makkah. Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Dia mendapatkan ilmu kalam dan madzhab Asy’ari dari Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib, kemudian menyebarkannya di Kota Makkah. Orang-orang yang berasal dari negeri-negeri maghrib arabi (magharibah) menyambutnya dan membawa akidah sesat tersebut ke Negeri Maroko dan Andalusia (Spanyol). Padahal sebelumnya para ulama di beberapa negeri tersebut tidak menyukai ilmu kalam. Bahkan mereka adalah orang-orang yang mumpuni di bidang ilmu fiqh, hadits, atau bahasa Arab.” (Siyar A’lamin Nubala’ 17/557)

3⃣. ‘Imran bin Hiththan menjadi khawarij karena pengaruh istrinya

Imran bin Hiththan adalah seorang yang hidup di masa tabi’in. Dia meriwayatkan hadits dari sekelompok sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia kesohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits. Dahulunya berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun di akhir hayatnya terseret ke dalam akidah sesat Khawarij. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Adalah Imran bin Hiththan tergolong orang yang terkenal di kalangan madzhab Khawarij, padahal sebelumnya dia kesohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits, kemudian terseret ke dalam fitnah (Khawarij).”

Al-Imam Ya’qub bin Syaibah rahimahullah berkata: “Dia berjumpa dengan sekelompok sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun di akhir hayatnya terseret ke dalam akidah Khawarij. Sebabnya adalah bahwa sepupu wanita/anak pamannya (yang bernama Hamnah, pen.) yang memiliki akidah sesat, akidah Khawarij, maka dia menikahinya dengan tujuan mengembalikannya ke dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi, justru sang istrilah yang menyeretnya ke dalam akidah Khawarij.”

Hal senada juga disampaikan oleh Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah. (Lihat Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 8/108-109)

Para pembaca yang mulia, belajar dari uraian di atas, maka sudah seharusnya bagi kita semua selektif dan berhati-hati dalam memilih teman. Mewaspadai teman yang buruk dan berteman dengan teman yang baik. Mengingat, seorang teman itu sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan beragama kita.

Wallahu a’lam bish-shawab.

〰〰〰
▪️ Catatan kaki:

[4] Bid’ah adalah segala hal yang diada-adakan dalam agama (tidak ada syariat/dalilnya dalam Islam). Ahlul bid’ah/mubtadi’ adalah orang yang bersemangat mempelajari dan melakukan kebid’ahan serta mendakwahkan/mengajak manusia untuk melakukan bid’ah.

Namun demikian, seseorang yang melakukan sesuatu yang menyelisihi syariat dalam keadaan tidak tahu, maka dia diberi udzur karena ketidaktahuannya tersebut. Dia tidak dihukumi mubtadi’. Hanya saja amalan yang dilakukannya disebut bid’ah.

[5] Diantara buktinya adalah kasus Imran bin Hiththan yang akan disebutkan insya Allah.

[6] Sebagai tambahan faedah tentang sikap terhadap ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang agamanya, silakan lihat kitab Ijma’ul Ulama’ ‘Alal Hajri wat Tahdzir min Ahlil Ahwa’, karya Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri.

📝 🌍 Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc hafidzahulloh. Dikutip dari http://asysyariah.com/teman-dan-pengaruhnya-dalam-kehidupan-beragama-seseorang/

〰〰〰〰〰〰〰
📚WA Salafy Kendari 📡

Turut mempublikasikan :

=========================

📃 WSC
WhatsApp Salafy Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar