ETIKA PEMBERITAAN DALAM ISLAM
(Ditulis Oleh: Al Ustadz Abdul Mu'thi Sutarman)
Beragam media massa yang sulit dihitung karena saking banyaknya dewasa ini merupakan bukti nyata pesatnya teknologi informasi. Era globalisasi telah menyuguhkan kemudahan akses informasi yang dibutuhkan dalam hitungan detik dengan biaya yang relatif murah. Sekian banyak peristiwa yang ada di jagat raya ini dengan cepatnya diberitakan. Bumi yang luas terbentang ini ibarat sebuah desa yang kecil yang mudah dikenali dari ujung hingga ke ujung.
Memang kenyataannya media massa tidak hanya menyuguhkan berita tentang suatu peristiwa. Media massa juga sebagai sarana hiburan, ajang promosi berbagai produk, dan kepentingan yang lain. Akan tetapi, pemberitaan masih merupakan salah satu menu pokok yang disajikan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik.
Satu hal yang tidak bisa dimungkiri, pemberitaan memegang peranan penting dalam mewarnai pola hidup dan pola pikir masyarakat. Pemberitaan yang positif, akurat, dan bermanfaat bisa menjadi titik tolak perubahan mental ke arah yang positif serta menjadi sarana terpenuhinya kebutuhan masyarakat, baik yang bersifat spiritual maupun material. Akan tetapi, pemberitaan bisa juga dijadikan sebagai sarana untuk meruntuhkan pokok-pokok agama dan menjadi alat untuk meretakkan sendi-sendi pergaulan di tengah-tengah masyarakat apabila yang disuguhkan adalah info yang tidak akurat, penuh kedustaan, dan penyimpangan.
Karena pemberitaan yang tidak benar bisa menimbulkan efek negatif yang sangat serius, maka Allah ‘azza wa jalla mengingatkan kita tentang bahaya ucapan yang dusta. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَٱجۡتَنِبُواْ قَوۡلَ ٱلزُّورِ ٣٠
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (al-Hajj: 30)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan umatnya dari bahaya ucapan dusta dan persaksian palsu dengan memasukkan perkara tersebut dalam rentetan dosa besar yang paling besar, seperti tersebut dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu.
Allah ‘azza wa jalla juga memerintahkan kita untuk bersikap hati-hati dari berita orang yang fasik (yaitu pelaku dosa besar atau orang yang terus-terusan melakukan dosa kecil). Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesali perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6)
Ayat yang mulia ini turun berkaitan dengan (kisah) al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, yang ia diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Bani al-Musthaliq dari (kabilah) al-Khuza’ah untuk mengambil zakat harta mereka. Ketika Bani al-Musthaliq mendengar (kedatangannya), mereka menyambutnya dengan senang. (Akan tetapi), al-Walid justru takut kepada mereka dan menyangka mereka akan membunuhnya. Al-Walid pulang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan kepada beliau bahwa Bani al-Musthaliq menolak memberikan zakat dan (justru) ingin membunuhnya. (Setelah itu) datanglah utusan dari Bani al-Musthaliq menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan kepada beliau tentang kedustaan al-Walid. (Adhwaul Bayan, 7/626)
📭🔨
Menyikapi Berita Orang Fasik
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla tidak memerintahkan untuk menolak berita orang yang fasik dan mendustakan info dan persaksiannya secara mutlak. Hanyalah yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla adalah mengecek kebenarannya.
Jadi, apabila ada indikasi dan bukti-bukti dari luar yang menunjukkan kebenaran berita tersebut, maka ia dipercaya karena ada bukti pembenarannya, seperti apa pun orang yang memberitakan. (at-Tafsir al-Qayyim, 441)
Demikian pula, tidak mengapa berita yang datang dari orang yang bisa dipercaya dilakukan penelitian, karena bisa saja orang yang dapat dipercaya terjadi darinya kekeliruan. Karena berita yang tersebar ada yang bisa dipertanggungjawabkan keotentikannya dan ada yang justru sebaliknya. Perlu kiranya kita mengetahui etika-etika pemberitaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Lebih-lebih pemberitaan bisa memengaruhi kondisi suatu masyarakat, baik dari sisi agama maupun sisi dunianya.
☎️📹
Berikut etika pemberitaan ditinjau dari berbagai sisinya.
🕗📇
Pembawa Berita
Orang yang menyampaikan suatu berita adalah orang yang paham terhadap berita yang disampaikan dan mengetahui kebenaran info yang hendak disajikan, terlebih apabila yang diberitakan berkaitan dengan masalah agama.
Sebab, semua ucapan dan perbuatan hamba akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman-Nya,
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
“Dan janganlah kamu mengikuti (mengatakan) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra’: 36)
Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah mengatakan sesuatu yang tidak diketahui oleh yang mengatakannya masuk di dalamnya: persaksian palsu, menuduh orang dengan tuduhan yang tidak benar, mengaku mendengar sesuatu yang dia tidak mendengarnya, dan mengakungaku melihat sesuatu (padahal) ia tidak melihatnya. (Tafsir ath-Thabari, 15/86)
Ketidakakuratan dalam menyampaikan permasalahan agama bisa berdampak luas seperti dihukuminya sesuatu yang halal menjadi sesuatu yang haram, demikian pula sebaliknya. Pembawa berita juga harus menjunjung tinggi amanat ilmiah, menetapi kejujuran, serta memiliki integritas yang tinggi sehingga ia tidak akan memotong berita untuk menimbulkan kekacauan di tengahtengah masyarakat atau memberikan informasi yang bertentangan dengan realita hanya ingin meraup keuntungan duniawiah.
Pembawa berita sebisa mungkin menggali berita dari sumber yang tepercaya dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ‘azza wa jalla kemudian di hadapan hukum yang adil yang berlaku. Adapun hanya sekadar sangkaan dan terkaan, maka hal ini berbahaya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Hati-hatilah kamu dari prasangka, karena prasangka adalah berita yang paling dusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
📌💡
Memerhatikan Isi Berita
Tentu tidak semua info yang didengar oleh seseorang itu diberitakan karena belum tentu semuanya benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang dikatakan berdusta bila ia menceritakan semua apa yang ia dengar.” ( HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Yang diberitakan adalah sesuatu yang jelas kebenarannya serta membawa maslahat bagi manusia baik untuk urusan agama maupun urusan dunianya. Pada dasarnya, masyarakat membutuhkan informasi yang benar sehingga mereka akan memiliki sikap yang benar berdasarkan informasi yang telah mereka serap.
📃📢
Menyikapi Berita
Berita ditinjau dari sumbernya, terbagi menjadi dua macam.
Selengkapnya :
👉⤵️
http://salafybpp.com/index.php/manhaj-salaf/300-etika-pemberitaan-dalam-islam
📚 TIS | طلب العلم الشر عي
0 Response to "ETIKA PEMBERITAAN DALAM ISLAM"
Posting Komentar