Kamis, 24 Desember 2015

Merontokkan Syubhat Hizbiyyun Mumayyi’un

⚠ edisi ralat ✅

Merontokkan Syubhat Hizbiyyun-Mumayyi’un

Yang Berlindung Dibalik Perkataan Asy Syaikh Al Abbad Hafizhahullah

الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاةُ وَالسَّلامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَبَعْدُ:

Hizbiyun terus-menerus saling menukilkan perkataan Al-Allamah Al-Abbad tentang Asy-Syaikh Rabi’ –semoga Allah menjaga beliau berdua– dan mereka sebarkan disertai membawa makna perkataan beliau kepada makna-makna yang tidak semestinya, hal itu bertujuan agar mereka bisa menjatuhkan vonis-vonis pembawa bendera jarh wa ta’dil dengan sebenarnya.

Tetapi alangkah jauhnya hal itu, orang yang memperhatikan perkataan Al-Allamah Al-Abbad tidak akan mendapati penafsiran-penafsiran bathil semacam itu yang diklaim oleh hizbiyun. Oleh karena itu saya memandang perlu untuk menukilkan jawaban beliau kemudian saya susul dengan catatan dan penjelasan agar dengan seizin Allah bisa melenyapkan apa yang dijadikan pegangan oleh para pengusung kebathilan itu.

Berikut ini penjelasan yang dimaksud:

Penanya: Pertanyaan ini kami ajukan untuk direkam dan disebarkan sebagaimana telah tersebar yang bertentangan dengannya. Fadhilatus Syaikh, telah muncul selebaran yang dibawa oleh orang-orang yang hatinya sakit yang di dalamnya mereka mengklaim bahwa Anda telah mencela Asy-Syaikh Rabi’ pada salah satu pelajaran Anda, dan kami tidak mengira bahwasanya mereka tidak memaksudkan hal itu selain untuk saling membenturkan para ulama, maka bagaimana pendapat Anda dan apa bimbingan Anda terhadap mereka, kami ingin mendapatkan kaset rekamannya agar tersebar untuk menjelaskan kebathilan mereka?

Asy-Syaikh Al-Abbad: Asy-Syaikh Rabi’ termasuk orang-orang yang menyibukkan diri dengan ilmu di zaman ini, beliau memiliki upaya yang bagus dan upaya yang besar yaitu menyibukkan diri berkhidimat kepada As-Sunnah, demikian juga dengan menulis kitab, beliau memiliki tulisan-tulisan yang bagus, karya yang besar dan bermanfaat. Hanya saja memang beliau akhir-akhir ini menyibukkan diri pada perkara-perkara yang tidak semestinya beliau lakukan. Yang semestinya beliau lakukan adalah menyibukkan diri apa yang pertama kali beliau lakukan, yaitu bersungguh-sungguh dan berijtihad dengan menyusun karya tulis yang bermanfaat. Akhir-akhir ini beliau melakukan beberapa perkara yang kami tidak sependapat dengan beliau. Dan kami memohon kepada Allah agar memberikan taufik bagi kami dan beliau untuk melakukan semua kebaikan serta memberi taufik kepada semua pihak untuk melakukan hal-hal yang terpuji kesudahannya. Dan saya tidak pernah mencela beliau dan tidak pernah mentahdzir beliau. Dan saya katakan: beliau termasuk ulama yang kokoh ilmunya. Seandainya beliau menyibukkan diri dengan ilmu dan bersungguh-sungguh padanya, niscaya beliau akan banyak memberi faedah. Beberapa waktu yang lalu beliau memiliki upaya yang lebih besar dibandingkan upaya beliau sekarang. Jadi saya menganggap Asy-Syaikh Rabi’ termasuk ulama yang bisa dijadikan rujukan dan memiliki faedah yang besar. Hanya saja semua orang (termasuk Asy-Syaikh Al-Abbad sendiri tentunya –pent) bisa diambil dan bisa ditolak pendapatnya, dan tidak seorang pun dari kami yang ma’shum. Kami berbeda pendapat dengan beliau pada beberapa perkara yang terjadi. Terlebih lagi di zaman ini muncul berbagai fitnah yang menyebar dan merata dan para penuntut ilmu saling menghajr, saling bertikai dan saling bermusuhan disebabkan apa yang terjadi antara beliau dengan orang lain, sehingga manusia terbagi menjadi dua kelompok dan fitnah pun semakin melebar dan membesar. Dan yang seharusnya dilakukan oleh beliau dan selainnya adalah hendaknya mereka meninggalkan fitnah yang masih terus terjadi ini serta tidak memperparah dan terus-menerus di dalamnya. Dan hendaknya semua pihak menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat, tanpa menyibukkan dengan hal-hal yang menyebabkan perpecahan dan perselisihan. Dan saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberi taufik kepada semua pihak.( Syarh Al-Arbai’n An-Nawawiyah hadits ke 18)

Saya memiliki beberapa catatan terhadap perkataan beliau hafizhahullah, diantara yang paling penting adalah:

Pertama: Asy-Syaikh Al-Abbad mensifati Asy-Syaikh Rabi’ bahwa beliau termasuk ulama yang diambil ilmunya dan memuji beliau karena beliau memiliki upaya yang besar di dalam berkhidmat kepada As-Sunnah, beliau memiliki berbagai karya tulis yang besar dan bermanfaat, tidak mencela beliau dan tidak pula mentahdzirnya.

Maka apakah sikap para pembela kebathilan itu terhadap Asy-Syaikh Rabi’ sama dengan sikap Asy-Syaikh Al-Abbad?!

Jawabannya: Tidak sama sekali.

Asy-Syaikh Al-Abbad memuji Asy-Syaikh Rabi’, sedangkan mereka mencela beliau baik terang-terangan maupun dengan isyarat.

Asy-Syaikh Al-Abbad menganggap Asy-Syaikh Rabi’ termasuk salah seorang ulama yang diambil ilmunya, sedangkan mereka menyelisihi, kalaupun ada yang mengakuinya maka karena terpaksa.

Asy-Syaikh Al-Abbad tidak mentahdzir Asy-Syaikh Rabi’, sedangkan mereka mentahdzir beliau, mencela dan mengghibahinya.

Maka lihatlah bagaimana para pendusta yang sesat itu menipu manusia dan mengesankan kepada mereka bahwa mereka sejalan dengan para ulama, padahal hakekatnya mereka menyelisihi para ulama dan membenturkan perkataan seorang ulama dengan perkataan ulama lain dalam rangka memecah belah Ahlus Sunnah.

Saya sengaja menyebutkan perkataan Asy-Syaikh Al-Abbad tentang Asy-Syaikh Rabi’ agar para pengekor kebathilan mengetahui bahwa Ahlus Sunnah menyebutkan perkataan yang mendukung mereka maupun yang mengkritik mereka, tidak seperti Quthbiyun dan Sururiyun dan para pembela kebathilan yang lainnya yang kebiasaan mereka adalah mengubur perkataan ulama yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka dan tidak menampakkannya sama sekali karena akan membabat habis kebathilan mereka.

Kedua: Keadaan Asy-Syaikh Al-Abbad tidak setuju dengan Asy-Syaikh Rabi’ pada semua atau kebanyakan vonis beliau terhadap orang-orang tertentu – baik yang sifatnya celaan atau pujian – adalah perkara yang wajar dan tidak aneh, hanya saja perkara yang diingkari adalah menggunakan perkataan semacam ini sebagai dalih untuk membatalkan vonis Asy-Syaikh Rabi’ atau melemparkan keraguan padanya, inilah yang aneh.

Saya katakan kepada mereka: Sebutkan nama para ulama yang sepakat dengan ulama lain di dalam menilai semua orang?!

Ketiga: Termasuk sikap adil adalah bahwasanya Asy-Syaikh Al-Abbad tidak setuju dengan Asy-Syaikh Rabi’ yang menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang menurut beliau tidak sepantasnya untuk menyibukkan diri dengannya, dan tidak setuju dengan beliau – sebagaimana yang nampak dari perkataan Asy-Syaikh Al-Abbad – di dalam memvonis sebagian orang.

Saya katakan:

1. Asy-Syaikh Al-Abbad termasuk ulama yang berpendapat wajibnya mentahdzir orang yang menyimpang. Beliau memiliki beberapa tulisan yang membantah orang-orang yang menyimpang. Beliau memiliki risalah yang membantah fatwa Salman Al-Audah dan memberi pengantar kitab Madarikun Nazhar karya Abdul Malik Ramadhany.

2. Kita katakan kepada para pembela kebathilan: Sebutkan kepada kami orang-orang yang Asy-Syaikh Al-Abbad tidak setuju dengan Asy-Syaikh Rabi’ di dalam menjarhnya dan apa alasannya, agar kita tahu apakah mereka orang-orang yang memang pantas dijarh atau tidak?!

Apakah mereka adalah orang-orang yang terfitnah dengan fiqhul waqi’ dan Sayyid Quthb atau bukan?

Apakah mereka adalah Al-Ikhwan Al-Muslimun dan Jamaah Tabligh serta ahli bid’ah selain mereka?

Apakah mereka adalah orang-orang yang suka mencaci maki pemerintah dan mencela para ulama atau bukan?

Apakah mereka adalah orang-orang yang suka membuat-buat kaedah-kaedah bathil untuk membela ahli bid’ah atau bukan?

Apakah mereka adalah orang-orang yang suka membuat kerancuan pada prinsip-prinsip pokok Ahlus Sunnah atau bukan?

Kita membutuhkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dan yang lainnya. Adapun memanfaatkan perkataan yang sifatnya global dan menerapkannya untuk menyerang pihak-pihak tertentu, maka ini adalah kebiasaan para pengusung kebathilan.

3.Asy-Syaikh Rabi’ ketika menjarh orang-orang yang menyimpang beliau menyebutkan bukti-buktinya, Asy-Syaikh memang manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar serta tidak ma’shum, tetapi apakah maknanya beliau salah secara mutlak pada semua yang beliau katakan dan bahwasanya semua pihak yang beliau jarh tidak pantas untuk dijarh?

Bahkan kalaupun ada, kesalahan beliau di dalam memvonis sebagian orang tidak boleh dianggap sebagai sebab untuk membatalkan perkataan beliau secara keseluruhan yang padanya beliau sesuai dengan kebenaran.

Jadi yang menjadi tolok ukur adalah hujjah dan dalil, sehingga siapa yang dijarh oleh Asy-Syaikh Rabi’ dengan bukti yang benar maka wajib mengambil jarh beliau walaupun ada yang menyelisihi beliau siapa pun orangnya. Sebaliknya siapa saja yang menjarh seseorang yang tidak pantas dijarh maka wajib menolak ucapannya siapa pun dia. Dan hukum ini tidak hanya khusus berlaku bagi Asy-Syaikh Rabi’, tetapi berlaku bagi semua ulama.

4. Asy-Syaikh Rabi’ akhir-akhir ini sibuk membantah sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, karena munculnya manhaj-manhaj baru yang digunakan oleh sebagian penuntut ilmu untuk pondasi dakwah, yang mana mereka membuat kaedah-kaedah yang konsekwensinya mencela salafus shalih dan menghancurkan manhaj mereka.

Mungkin yang paling berbahaya adalah manhaj Haddadiyah yang dibangun di atas sikap menjarh dan mentabdi’ tanpa dalil dan hanya karena kesalahan sepele. Diantara akibatnya adalah celaan mereka terhadap Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin rahimahullah, Asy-Syaikh Ahmad An-Najmy, Masayikh Yaman dan yang lainnya. Oleh karena itulah Asy-Syaikh Rabi’ meluangkan waktu yang panjang untuk membantah berbagai kesesatan Haddadiyah, dan hal itu didukung oleh para ulama yang lain.

5. Kesibukan seorang ulama dengan salah satu jenis ilmu-ilmu agama bukan merupakan aib atau celah untuk menyalahkannya, selama di atas manhaj yang benar.

Misalnya seorang ulama yang menyibukkan diri dengan ilmu hadits dan tidak memfokuskan ilmu Al-Qur’an, apakah kita boleh menyalahkannya karena hal tersebut? Jawabannya: Tidak.

Seorang ulama yang menyibukkan diri dengan ilmu ushul fikih dan tidak memfokuskan ilmu akidah, apakah kita boleh menyalahkannya karena hal tersebut? Jawabannya: Tidak.

Seorang ulama yang menyibukkan diri dengan menyusun karya tulis dan tidak mengutamakan mengajar para penuntut ilmu, apakah kita boleh menyalahkannya karena hal tersebut? Jawabannya: Tidak.

Maka demikian juga seorang ulama yang menyibukkan diri membantah orang-orang yang menyimpang dan menjaga agama ini dari berbagai kesesatan ahli bid’ah sehingga kurang waktunya untuk berdakwah atau yang lainnya, kita tidak boleh menyalahkannya karena beliau menyibukkan sebagian besar waktunya untuk membantah.

Perhatikanlah perkataan-perkataan para ulama yang bagus berikut (Saya pilih dengan bebas dari kitab yang bagus yang berjudul “Ijma’ul Ulamaa’ Alal Hajri wat Tahdziiri min Ahlil Ahwaa’i” karya Asy-Syaikh Khalid Azh-Zhafiry):

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Adapun kitab-kitab yang membantah pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah maka tidak mengapa, dan terkadang hukumnya bisa wajib, mustahab, dan mubah, tergantung tuntutan keadaan.”( Ath-Thuruq Al-Hakimiyyah hal. 235)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Orang-orang semacam para tokoh ahli bid’ah yang memiliki ucapan-ucapan yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, atau ungkapan-ungkapan yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan umat Islam, sampai ketika Ahmad bin Hanbal ditanya: “Seseorang mengerjakan puasa dan shalat (nafilah) dan i’tikaf lebih Anda sukai ataukah membantah ahli bid’ah?” Beliau menjawab: “Jika seseorang mengerjakan shalat, puasa dan i’tikaf maka kebaikannya hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan jika dia membantah ahli bid’ah maka kebaikannya bagi kaum Muslimin, tentu ini lebih utama.” Jadi beliau menjelaskan bahwa manfaat dari hal ini adalah mencakup kaum Muslimin bagi agama mereka, dan termasuk jenis jihad fii sabilillah [Asy-Syaikh Abdur Razzaq hafizhahullah berkata di dalam kitabnya yang bagus “Al-Quthuuf Al-Jiyaad Min Hikam wa Ahkaamil Jihaad” hal. 5-6: “Ketika disebutkan kata jihad maka yang langsung terlintas di pikiran banyak manusia adalah perang di jalan Allah, yaitu mengerahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir. Padahal faktanya ini hanyalah salah satu jenis jihad dan merupakan salah satu dari tingkatannya. Karena makna jihad di dalam syariat jauh lebih umum dan lebih luas. Jadi jihad ada berbagai macam dan tingkatan yang berbeda-beda yang telah dijelaskan oleh para ulama berdasarkan nash-nash syariat yang suci ini. Dan termasuk yang terbaik yang saya jumpai di dalam menjelaskan macam-macam jihad dan tingkatannya adalah perkataan Al-Allamah Al-Muhaqqiq Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad, yang mana beliau mengatakan: ‘Jihad ada empat tingkatan: jihad mengalahkan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang-orang kafir dan munafik serta jihad menghadapi orang-orang yang suka berbuat zhalim, bid’ah dan kemungkaran.’ Zaadul Ma’ad 3/10…”], karena membersihkan jalan Allah, agama-Nya, manhaj-Nya, syariat-Nya dan melawan kejahatan ahli bid’ah dan permusuhan mereka hukumnya fardhu kifayah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Seandainya bukan karena Allah membangkitkan orang-orang yang melawan bahaya mereka niscaya agama ini akan rusak, dan kerusakannya lebih besar dibandingkan berkuasanya musuh ketika perang, karena sesungguhnya ketika mereka menguasai, mereka tidak merusak hati kaum Muslimin dan agama mereka kecuali sifatnya menyusul, adapun ahli bid’ah maka mereka merusak hati kaum Muslimin sejak awal.”( Majmu’ul Fataawa 28/231-232)

Beliau juga berkata: “Orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid, sampai-sampai Yahya bin Yahya (An-Naisabury, guru Imam Muslim –pent) mengatakan: “Membela As-Sunnah lebih besar keutamaannya dibandingkan jihad.” (Naqdhul Manthiq hal. 12.

Saya katakan: Atsar dari salaf yang semakna dengan ini banyak, diantaranya yang dikatakan oleh Al-Humaidy guru dari Al-Imam Al-Bukhary: “Demi Allah, sungguh aku memerangi orang-orang yang suka membantah hadits Rasulullah shallallahu alaihi was sallam lebih aku cintai dibandingkan memerangi orang-orang kafir Atrak.” Diriwatkan dengan sanadnya oleh Al-Harawy di dalam kitab Dzammul Kalaam hal. 228…)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Jika engkau memperhatikan penakwilan yang dilakukan oleh orang-orang Qaramithah, Mulhid, Filsafat, Rafidhah, Qadariyah, Jahmiyah, dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang yang membebek mereka di dalam menetapkan hukum dan dalil, engkau akan melihat pengabarannya yang diatas namakan dari Allah dan Rasul-Nya tidak keluar dari hadits-hadits palsu yang dibuat-buat oleh tangan-tangan pemalsu dan mulut-mulut para pendusta. Mereka sendiri berselisih pada lafazh yang mereka ada-adakan dan pada makna-makna yang mereka buat-buat. Duhai ini merupakan ujian bagi Al-Kitab dan As-Sunnah yang muncul dari dua kelompok ini, dan tidaklah ada musibah yang menimpa Islam kecuali melalui dua kelompok ini, jadi keduanya merupakan musuh Islam yang jahat dan menyimpang dari jalan yang lurus…”

Hingga perkataan beliau: “Maka menyingkap kejahatan mereka dan membongkar aib mereka dan kerusakan kaedah mereka termasuk jihad fii sabilillah yang paling utama. Nabi shallallahu alaihi was sallam pernah bersabda kepada Hassan bin Tsabit:

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ مَعَك مَا دُمْتَ تُنَافِحُ عَنْ رَسُوْلِهِ.

“Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril –pent) bersamamu selama engkau membela Rasul-Nya.”( Shahih Muslim no. 2490 dengan lafazh:   إِنَّ رُوحَ الْقُدُسِ لَا يَزَالُ يُؤَيِّدُكَ، مَا نَافَحْتَ عَنِ اللهِ وَرَسُولِهِ.

“Sesungguhnya Ruhul Qudus senantiasa menolongmu, selama engkau membela Allah dan Rasul-Nya.”

Dan di dalam penjelasan hadits Silsilah Ash-Shahihah no. 802 disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albany bahwa pada riwayat Al-Hakim dengan lafazh:       إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ مَعَك مَا هَاجَيْتَهُمْ.

“Sesungguhnya Ruhul Qudus bersamamu selama engkau melawan mereka dengan syairmu.”)

Beliau juga bersabda:

اهْجُهُمْ أَوْ هَاجِهِمْ وَجِبْرِيلُ مَعَكَ.

“Seranglah mereka (kafir Quraisy dengan syairmu) dan Jibril akan menyertaimu!”(Shahih Al-Bukhary no. 3213. (pent))

Beliau juga bersabda:

اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ القُدُسِ مَا دَامَ يُنَافِحُ عَنْ رَسُوْلِكَ.

“Ya Allah, tolonglah dia dengan Ruhul Qudus selama dia membela Rasul-Mu.”( Shahih Al-Bukhary no. 435 dan Shahih Muslim no. 2485 tanpa lafazh (مَا دَامَ يُنَافِحُ عَنْ رَسُوْلِكَ))

Beliau juga bersabda tentang perlawanan Hassan bin Tsabit terhadap syair Quraisy :

وَالَّذِيْ نَفْسَيْ بَيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ فِيْهِمْ مِنْ النَّبْلِ.

“Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh syairmu lebih menyakitkan mereka dibandingkan anak panah.” (Shahih Muslim no. 2490 Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda kepada Abdullah bin Rawahah dengan lafazh:

            اهْجُوا قُرَيْشًا، فَإِنَّهُ أَشَدُّ عَلَيْهَا مِنْ رَشْقٍ بِالنَّبْلِ.

            “Lawanlah syair Quraisy, sungguh hal itu lebih menyakitkan mereka dibandingkan serangan anak panah.”

            Dan di dalam Mukthasar Asy-Syamail Al-Muhammadiyah karya Al-Albany no. 210 diceritakan ketika Ibnu Rawahah membaca syair di hadapan Rasulullah ketika beliau melaksanakan Umrah Qadha’, Umar mengingkarinya. Maka Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:

            خَلِّ عَنْهُ يَا عُمَرُ فَلَهِيَ أَسْرَعُ فِيهِمْ مِنْ نَضْحِ النَّبْلِ.

            “Biarkan dia wahai Umar, sungguh syairnya lebih menyakitkan mereka dibandingkan serangan anak panah.”

            Sedangkan di dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1631 disebutkan bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:

            إِنَّ الْمُؤْمِنَ يُجَاهِدُ بِسَيْفِهِ وَلِسَانِهِ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَكَأَنَّمَا تَرْمُونَهُمْ بِهِ نَضْحَ النَّبْلِ.

            “Sesungguhnya seorang mu’min berjihad dengan pedang dan lisannya, demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh dengan syair seakan-akan kalian menghujani mereka dengan anak panah.”)

–        selesai nukilan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah – (Ash-Shawaaiqul Mursalah 1/301-302)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika menjelaskan macam-macam pena: “Pena yang kedua belas: pena yang menyeluruh, yaitu pena untuk membantah para pengusung kebathilan, membela sunnah orang-orang yang mengikuti kebenaran, menjelaskan kebathilan para pembelanya dengan berbagai macam dan jenisnya, dan menjelaskan kontradiksi, berjatuhannya mereka serta keluarnya mereka dari kebenaran dan masuk kepada kebathilan. Jenis pena ini seperti kedudukan para raja di tengah-tengah manusia. Para pemiliknya adalah orang-orang yang memiliki hujjah dan pembela ajaran yang dibawa oleh para rasul serta yang memerangi musuh-musuh mereka. Merekalah orang-orang yang mendakwahkan agama Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik serta membantah siapa saja yang menyimpang dari jalan-Nya dengan berbagai macam argumen. Orang-orang yang memiliki pena ini memerangi setiap pengusung kebathilan dan musuh setiap orang yang menyelisihi jalan para rasul. Jadi mereka berada pada sebuah kedudukan mulia dan para pemilik pena-pena jenis yang lain berada pada urusan lain.” (At-Tibyaan li Aqsaamil Qur’an hal. 132)

Saya ulangi dan saya katakan:

Para ulama masing-masing dari mereka menempati garis perbatasan terdepan dengan musuh agama. Ada yang di bidang akidah, ada yang di bidang fikih dan ushulnya, ada yang di bidang bahasa, ada yang di bidang hadits, ada yang di bidang Al-Qur’an, ada yang di medan jihad, ada yang di medan dakwah menyebarkan ilmu, ada yang di medan pembelaan agama dari perubahan dan penyimpangan, dan seterusnya.

Keempat: Adanya sebagian penuntut ilmu yang saling menghajr disebabkan bantahan Asy-Syaikh Rabi’ terhadap orang-orang yang menyimpang bukan termasuk perkara yang boleh dijadikan alasan untuk mencela beliau, yang tercela adalah para penuntut ilmu tersebut yang tidak komitmen dengan adab-adab Islam dalam menyikapi perselisihan. Jadi seseorang tidak menanggung dosa yang dilakukan oleh orang lain.

Ini yang ingin saya sebutkan.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Dirangkum secara bebas dari risalah:

“Kasyfuzh Zhulmi wa Raddul Abathil ‘an Hamili Raayatil Jarh wat Ta’dil”

Karya: Abu Imran As’ad Usamah Al-Atsary

–Semoga Allah menutupi aibnya dan mengampuni dosanya–

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=113183&page=1

 =====*****=====
📶 Publikasi:
📖 WA Salafy Solo
Rabi'ul Awal 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar