Selasa, 29 Maret 2016

kajian hari pertama di Boven Digoel

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 09 )

Sudah puluhan bahkan ratusan kajian yang telah saya ikuti, namun baru kali ini saya serasa menyaksikan sebuah keajaiban. Keajaiban? Apakah tidak terlalu berlebihan? Jika dirasa berlebihan, lantas kosa kata apa yang harus saya pilih? Ah, barangkali lebih tepat jika dikatakan saja sebagai “sesuatu yang baru”. Baiklah, saya akan menggunakan frasa “sesuatu yang baru” untuk menggambarkan situasi kajian hari pertama di Boven Digoel.

Masjid Raya Baiturrahmah diramaikan oleh peserta Kajian. Dari ratusan yang hadir, hanya beberapa saja yang terlihat menggunakan pakaian gamis atau jubah. Merekalah para panitia. Selain itu? Masyarakat muslim secara umum. Masyarakat awam, menurut istilah populernya. Di bagian belakang masjid, bersekatkan lembaran kain yang tinggi, kaum muslimat juga turut meramaikan.

Nah, ada sesuatu yang baru pada Kajian kali ini yang saya saksikan. Puluhan, bahkan jika saya menyebut lebih dari lima puluh, kiranya tidak salah. Iya, lima puluh lebih peserta yang hadir, yang duduk dan bahkan mengambil posisi di barisan depan adalah anggota TNI dan Polri. Seragam doreng dan seragam coklat mereka pakai, dan jadilah warna hijau doreng dan coklat memberikan warna mencolok di ruang masjid Baiturrrahmah.

Rupanya pucuk pimpinan TNI dan Polri di Boven Digoel bukan hanya menganjurkan anggotanya untuk hadir, bahkan para pimpinannya pun turut bergabung di barisan peserta. Dandim dan Danramil serta Wakapolres (sebab Kapolres beragama non) dapat membaur dengan baik. Semuanya mengikuti Kajian dari awal hingga akhir.

Inilah yang tadi saya sebut sebagai “sesuatu yang baru”.  Jika sebelum-sebelumnya, anggota TNI dan Polri sebatas memberikan pengamanan atau mengikuti acara dari luar ruang Kajian, kali ini mereka duduk rapi dan teratur sebagai peserta. Ada bahagia yang tak terkata, lahir rasa senang yang tiada terbilang. Apalagi saat menyaksikan mereka berdiri melaksanakan shalat sunnah tahiyyatul masjid. Semoga Allah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya untuk TNI dan Polri.

“Saya salut dan bangga dengan Ustadz-Ustadz yang datang.  Di tempat yang begitu jauh ini, Ustadz-Ustadz mau berusaha untuk datang memberikan pencerahan”.

Kira-kira seperti itulah kesan dan sambutan yang disampaikan Wakapolres Boven Digoel, Bapak Muhammad Ja’far dalam acara ramah tamah dengan Muspida dan tokoh masyarakat selepas shalat ashar.

Mewakili Dandim, Danramil Bapak Suwandi menilai tema Kajian yang diangkat sangatlah menarik. Selain itu, pihak TNI juga mengharapkan agar di salah satu kajian yang diadakan untuk mengangkat tema bahaya Narkoba terhadap generasi muda muslim. Subhaanallah! Bukankah sudah seharusnya kita berbahagia saat TNI/Polri mendukung dakwah Sunnah? Dakwah kebaikan dan kebajikan?

Alhamdulillah, ramah tamah di sore hari itu berjalan penuh kehangatan. Turut hadir selain dari unsur TNI/Polri dan Muspida adalah tokoh-tokoh masyarakat, PKM se Boven Digoel, FKUB dan perwakilan dari Satgas Pamtas Yonif 600/Raider dari Kalimantan. Ramah tamah yang sampai melahirkan kesimpulan akan pentingnya untuk bersatu melawan berbagai kemaksiatan dan ideologi menyimpang. Seperti terorisme, radikalisme, syi’ah, komunisme, liberalisme, pornografi dan narkoba.

00000_____00000

Di antara tumpukan Al-Qur’an dan buku-buku di rak perpustakaan masjid At Taqwa, saya sempat dikagumkan dengan adanya terjemah kitab Utsuluts Tsalatsah. Masya Allah! Di ujung timur Indonesia, di sebuah tempat pedalaman Papua, di lokasi yang berjarak ratusan kilometer dari kota Merauke, dakwah Tauhid telah sampai. Bahkan, sebuah terjemahan dari kitab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga ada di rak buku tersebut.

Tanpa menafikan siapapun yang sebelumnya pernah sampai disini, peran Ustadz Shadiqun Ambon cukuplah besar. Empat kali beliau menapak hingga ke Boven Digoel. Bukan hanya sehari dua hari, namun belasan hari. Kitab Fathul Majid beliau ajarkan, demikian pula pembahasan tentang fiqih shalat disampaikan. Diselingi nasehat-nasehat yang bermuatan targhib dan tarhib. Sebentuk upaya dakwah di bumi Papua.
Bila sedang tidak ada ustadz yang berdakwah di Boven Digoel, mereka sendiri yang saling mengisi kesempatan. Setelah shalat shubuh, mereka bertadarus Al-Qur’an. Rutin juga mereka membaca buku-buku terjemah Ahlus Sunnah. Satu orang membaca dengan suara lantang, yang lain menyimak dan mendengarkan dengan seksama. Lihatlah semangat mereka untuk mendalami Islam! Mereka berusaha mandiri secara maksimal. Mereka haus akan ilmu.

Bagaimana dengan Anda? Anda yang sebenarnya cuma menghabiskan waktu sepuluh atau duapuluh menit saja untuk sampai di majlis taklim. Anda yangu mempunyai rumah dengan jarak puluhan meter saja dari Pondok, bahkan di samping Pondok. Anda yang tinggal di dekat seorang Ustadz. Apakah bisa membayangkan apa yang diupayakan saudara-saudara kita di Boven Digoel demi untuk bisa bermajlis ilmu?

Ayo semangat Ngaji!

Untuk memenuhiy kebutuhan khatib Jum’at, mereka “memaksakan” diri untuk tampil. Meskipun dengan membaca, namun yang mereka baca adalah teks khutbah Jum’at yang diambil dari majalah Asy Syari’ah, majalah Qudwah atau semisalnya. Kenyataan ini semakin menguatkan semangat untuk lebih memperhatikan keberadaan majalah-majalah Salafiyyin.u Ternyata, majalah-majalah itu sangat bermanfaat di daerah terpencil semacam Boven Digoel dan lainnya.

Sinyal telekomunikasi yang dibatasi jumlah penggunanya, waktu dan lokasinya, bukan menjadi alasan bagi mereka untuk diam pasif. Melalui aplikasi RII (Radio Islam Indonesia), juga group-group Salafy di media sosial, mereka aktif  mengikuti perkembangan dakwah Salafiyyah di Indonesia. Nama-nama Ustadz Salafy, pondok-pondok Salafy dan kegiatan dakwah Salafiyyah sudah lumayan akrab bagi mereka. Rindu dan penasaran merekay untuk bertemu adalah sebuah kewajaran, bukan?

Ada satu hal lagi yang cukup menarik yang saya cermati. Dalam hitungan beberapa tahun sejak mengenal dakwah Salafiyyah, satu kata yang akrab saya dengar dari mereka adalah “Na’am”. Jika berbincang, bertanya dan bercerita, perhatikanlah dengan seksama, mereka sering mengucapkan ”Na’am” sebagai pengganti “Iya”. Kalau kita di Lendah, selain “Na’am”, yang sering diucapkan adalah “Nggih”.

Ah, jadi rindu dan kangen untuk mendengar lagi “Nggih”, "Njih” atau “Injih”. Dan itu, ada di Lendah.

Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Boven Digoel
Ahad 27 Maret 2016

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
https://telegram.me/kajianislamlendah
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Tidak ada komentar:

Posting Komentar