Kamis, 03 Maret 2016

Kisah Munafik Abdullah bin Ubay

🖌 SILSILAH "SANG PEMIMPIN"
(Kisah Suci Perjalanan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam)

🇸🇦 ENGKAULAH YANG MULIA, DUHAI RASULULLAH

Hampir saja al-Muhajirin dan Anshar saling berperang, bunuh-bunuhan, dan perang saudara! Alkisah, setelah Pasukan Muslimin berhasil meredam kekuatan Bani Mustaliq, Rasulullah memerintahkan pasukan untuk tetap bermalam di sana, tepatnya di dekat sebuah oase bernama Muraisi’. Tiba-tiba saja Jahjah – budak Umar bin Khathab – berdesak-desakan dengan Sinan bin Wabr al-Juhani – seorang Anshar –. Perseteruan semakin menjadi dan mereka berdua saling adu dorong. Langsung seketika Sinan berteriak memanggil orang-orang Anshar, “Wahai orang-orang Anshar!!”

Jahjah tidak mau kalah, “Wahai kaum Muhajirin!!”

Berkumpullah dua kelompok besar saling berhadap-hadapan membela kawannya masing-masing. Hampir saja mereka saling berperang kalau saja Rasulullah tidak segera datang melerai.

“Apakah kalian masih menggunakan cara-cara Jahiliyah padahal aku berada di tengah-tengah kalian!? Bubar! Bubar! Amalan-amalan jahiliyah itu sudah kadaluwarsa dan busuk,” teriak Rasulullah membuat mereka semua bubar.

Berita ini sampai ke telinga Abdullah bin Ubay, tokoh Munafik yang saat itu baru nongkrong-nongkrong dengan temannya sesama Munafik. Marahlah dia. “Apakah mereka (kaum muhajirin maksudnya, pen) benar-benar sudah melakukannya!? Mereka itu sudah terlalu banyak dan membuat kita tersingkir di negri kita sendiri. Tahukah kalian, kondisi kita saat ini ibarat pepatah, ‘Kamu buat anjingmu gemuk Cuma untuk menerkammu.’ Demi Allah, kalau nanti kita sudah sampai Madinah, benar-benar orang yang mulia (maksudnya adalah dirinya sendiri, pen) akan mengusir orang yang hina (maksudnya adalah Rasulullah, pen),” katanya ngomel-ngomel kepada teman-temannya. Dia melanjutkan,

“Ini nih akibat perbuatan kalian sendiri. Sok ngasih tempat buat mereka. Sok berbagi harta dengan mereka. Coba kalau kalian tahan itu semua, mereka gak akan betah di sini dan segera pindah dari sini.”

Ucapan Abdullah bin Ubay didengar oleh anak kecil bernama Zaid bin Arqam. Diam-diam Zaid memberitahu pamannya. Dan pamannya segera memberi tahu Rasulullah. Ketika itu Umar bin Khathab ada di sisi Rasulullah. Demi mendengar berita tersebut, Umar marah, “Suruh Ubad bin Bisyr membunuhnya, wahai Rasulullah!”

Rasulullah tetap teduh. Rasulullah menasihati Umar dengan bijak, “Shahabatku Umar, apa jadinya kalau orang-orang Arab menuduhku telah membunuh kawannya sendiri!? Tidak mungkin kan? Tapi beri perintah kepada pasukan untuk bergerak pulang sekarang.”

Padahal saat itu masih siang dan matahari benar-benar membara. Tidak biasanya Rasulullah menggerakkan pasukan pada saat seperti ini. Demikian pula saat perjalanan. Dari siang sampai malam, malam sampai siang lagi, Rasulullah memerintahkan untuk terus berjalan dan tidak boleh berhenti. Tidak biasanya.

Karenanya shahabat Usaid bin Hudair menemui Rasulullah menanyakan perihal alasan beliau berbuat demikian.

“Apakah engkau belum mendengar ucapan kawanmu (Abdullah bin Ubay maksudnya. Karena sama-sama dari Anshar, pen),” jawab Rasulullah yang tidak terkurang sedikitpun wajah teduh beliau.

“Apa itu, wahai Rasulullah?” tanya Usaid.

“Apabila sampai di Madinah akan ada orang mulia mengusir orang rendahan.”

“Benarkah demikian, wahai Rasulullah! Demi Allah, engkau lebih pantas mengusir siapa saja yang engkau kehendaki dari Madinah. Demi Allah, engkaulah yang mulia, dialah yang hina,” kata Uzair. Lalu Uzair mencoba memberikan keterangan kepada Rasulullah agar Rasulullah memahami kondisi Abdullah bin Ubay.

“Walaupun begitu, wahai Rasulullah, berlemah lembutlah kepadanya. Sebab beberapa hari sebelum kedatanganmu, duhai Rasulullah, kaumnya hampir menyediakan kursi kepemimpinan untuknya. Namun kemudian Allah memberi kami taufik untuk menjadikanmu sebagai pemimpin kami. Mungkin saja dia berbuat demikian karena merasa engkau telah mengambil kekuasaannya.”

Rasulullah memaklumi hal tersebut. Walaupun sebenarnya kebencian Rasulullah kepada Abdullah bin Ubay bukan karena masalah pribadi. Namun murni wahyu dari Allah, itu yang pertama. Yang kedua adalah kekafiran yang terselubung di hati Abdullah bin Ubay.

Kemudian Rasulullah melanjutkan perjalanan. Perjalanan panjang menembus teriknya matahari tanpa istirahat. Nampak keringat bercucuran deras dari tubuh pasukan. Mereka terengah-engah. Nafas tersenggal-senggal. Maka tatkala Rasulullah mengizinkan untuk istirahat, sekonyong-konyong pasukan ambruk di tempatnya masing-masing dan tertidur dengan pulasnya. Rasulullah berbuat demikian agar pasukan terlupa dengan seruan Jahiliah di Oase Muraisi’ kemaren. Juga desas-desus ucapan Abdullah bin Ubay.

Bagaimana dengan Zaid bin Arqam? Tahu ucapannya didengar Rasulullah, Abdullah bin Ubay bergegas menuju Rasulullah mencari-cari alasan, “Sumpah, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidak pernah mengucapkan berita yang sampai kepadamu. Sumpah! Demi Allah! Wallahi!”

Ada sebagian Anshar yang mencoba berhusnudhan kepada Abdullah bin Ubay – karena tidak tahu hakekat Abdullah bin Ubay – dan berkata kepada Rasulullah, “Mungkin saja, wahai Rasulullah, anak kecil ini salah mendengarkan. Kan masih kecil, wahai Rasulullah.”

Rasulullah pun memaafkan Abdullah. Ingat! Memaafkan, tidak mempercayai. Sebab Rasulullah sudah tahu berdasarkan wahyu bahwa Abdullah bin Ubay adalah munafik.

Kata Zaid, “Saat Rasulullah memaafkan Abdullah bin Ubay dan ada yang mengatakan ingatanku lemah, aku merasa terpojokkan dan hatiku terasa sempit sesempit-sempitnya. Akhirnya Allah menurunkan ayat,

يَقُولُونَ لَئِن رَّجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ
"Mereka itulah yang mengatakan: Apabila kami kembali ke Madinah akan ada orang mulia yang mengusir orang rendahan." (QS. Al-Munafiqun: 8)

Maka Rasulullah mengirim utusan kepadaku untuk membacakan ayat tersebut dan berkata, ‘Kamulah yang jujur.’ Aku pun bergembira.”

Setibanya di Madinah, putra Abdullah bin Ubay yang juga bernama Abdullah menghunuskan pedang di depan gerbang masuk kota Madinah. Putra Abdullah bin Ubay adalah seorang mukmin yang jujur keimanannya. Berbeda dengan bapaknya yang munafik. Begitu bapaknya hendak melewati gerbang kota Madinah, sang anak mengalungkan pedang ke leher bapaknya.

“Bapak tidak boleh melewati gerbang ini kecuali seizin Rasulullah. Karena yang mulia itu Rasulullah dan bapaklah yang hina,” katanya kepada sang bapak yang telah lancang menodai kehormatan Rasulullah. Sang bapak hanya terdiam tak bisa berbuat apa-apa.

Namun tatkala Rasulullah lewat, beliau mengizinkan Abdullah bin Ubay untuk masuk kota Madinah. Setelah Abdullah bin Abdullah bin Ubay melepaskan ayahnya, dia berkata kepada Rasulullah, “Kalau berkehendak untuk membunuhnya, suruh aku saja, wahai Rasulullah. Akan aku bawakan kepalanya untukmu.”

Rasulullah hanya tersenyum dan memberikan isyarat bahwa beliau tidak akan melakukanya.

Wallahu A'lam.

✏️__Disusun oleh:
Ukasyah (santri kelas 7)

🌾 KASYAF
telegram.me/karyasyababdaarussalaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar