Rabu, 11 Mei 2016

Hidayah Allah untuk Siapa Saja yang DIA Kehendaki

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
( Edisi 23 )

Saya secara pribadi akan selalu berusaha untuk berhati-hati dalam berbicara kepada orang yang sudah tua. Juga kepada orang yang matanya buta. Entah kenapa. Barangkali karena saya menilai bahwa perasaan orang buta itu jauh lebih halus dan sensitif dibandingkan kita yang normal.

Ada banyak orang buta yang pernah saya temui. Terkhusus mereka yang mau belajar Islam lebih dalam. Terutama lagi mereka yang telah menerima manhaj Salaf sepenuh hati tidaklah sedikit yang pernah saya kenal. Saya merasa sangat beruntung dimudahkan oleh Allah berkenalan dengan kaum buta. Kenapa? Karena saya meyakininya sebagai sebuah teguran dan pelajaran hidup agar lebih banyak bersyukur dan sering-sering menunduk ke bawah.

Saya mengenal seorang salafy yang buta di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Seorang muadzin di masjid milik Salafiyyin. Rumahnya di sebelah selatan masjid. Ia membuka warung, bercocok tanam dan berkebun. Satu keluarga kecil ia bina dan pimpin. Kebutaan itu juga tidak menghalanginya untuk duduk bermajelis dalam thalabul ilmi.

Saya juga mengenal seorang salafy yang buta di Purbalingga. Seorang yang kata-katanya selalu menggambarkan optimisme. Rumah kontrakannya hanya seratusan meter di sebelah selatan Masjid Agung Purbalingga. Tetangga dekatnya selalu meghampiri dan menggandengnya untuk shalat berjamaah di masjid Agung. Satu keluarga kecil, istri dan anak-anak, Allah anugerahkan untuknya.

Di Kulonprogo sendiri, di lokasi yang tidak begitu jauh dari Ponpes Al Manshuroh, ada seorang salafy buta yang telah cukup berumur. Terlihat selalu aktif di majelis-majelis ilmu. Diantar dan dipandu oleh seorang keponakannya. Pak tua itu terlihat tak pernah rela untuk ketinggalan dalam thalabul ilmi. Saya selalu berusaha untuk menyapa dan mengajaknya berjabat tangan setiap selesai kajian.

Selain mereka, masih banyak lagi saudara-saudara kita yang bermanhaj Salaf dan mereka ditaqdirkan oleh Allah untuk menjalani hari-hari di dunia dengan kebutaan. Tiada penglihatan. Ada yang saya kenal di Purwokerto, di Bantul dan beberapa tempat lainnya. Ada juga yang saya kenal semasa masih berdomisili di Solo. Saya yakin, masih banyak yang seperti mereka di daerah-daerah lain. Mereka yang buta matanya tetapi hidup hatinya. Bersemangat menggapai kemuliaan dalam thalabul ilmi.

Hal ini menyadarkan kita bahwa perlombaan untuk meraih derajat yang tinggi, perlombaan untuk bergegas menuju surga dijalur thalabul ilmi juga diikuti oleh mereka yang mengalami kebutaan. Apa maksudnya? Panjenengan yang diberi kelebihan dalam hal ini, yakni mampu melihat menggunakan mata, sudah seharusnya lebih bersemangat lagi untuk thalabul ilmi. Dengan mata yang normal anda jauh lebih mudah untuk itu. Mudah menempuh perjalanan, mudah membaca, mudah mencatat, mudah mengenali teman ngajinya, dan lain-lain.

Tidak sedikit dalam sejarah Islam orang buta yang kemudian tercatat meraih derajat yang tinggi. Beberapa sahabat Nabi juga ada yang mengalami kebutaan. Contoh yang paling dekat dan akrab adalah sahabat Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallohu'anhu. Seorang sahabat yang buta namun ditunjuk oleh Rasulullah sebagai salah satu orang kepercayaan Beliau. Menjadi muadzin di masjid Nabawi, bukankah hal itu sebagai bentuk kepercayaan yang diberikan kepadanya? Bahkan, pernah Rasulullah menunjuk beliau sebagai pengganti pimpinan kota Madinah selama ditinggal safar.

Abdullah bin Ummi Maktum juga yang kemudian menjadi sebab turunnya sebuah surat di dalam Al Qur'an, yakni surat Abasa. Didalam surat tersebut, beliau disanjung oleh Allah sebagai seorang hamba yang bersemangat untuk menemukan kesucian jiwa. Seorang hamba yang berharap untuk memperoleh dzikraa dan merasa takut kepada Allah.

Artinya apa? Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum dan orang-orang shaleh dari kalangan kaum buta telah mengajarkan kepada kita semua bahwa tidak ada alasan lagi untuk tidak berthalabul ilmi. Ingat, tidak ada alasan yang menghalangi kita untuk beramal shaleh, beribadah dan berbuat untuk Islam.
Bertemu, berjumpa dan berkenalan dengan seorang salafy yang buta kembali saya alami beberapa hari yang lalu di Maros, Sulawesi Selatan. Ditengah rangkaian Kajian di Ponpes Darul Hadits Maros, saya sempat berbincang dengan Iqbal, seorang buta yang hadir sebagai peserta Kajian. Lokasi duduknya yang dekat dengan meja saya dan tepat berhadapan dengan saya, membuat saya yakin bahwa dia memang orang buta.

Subhaanallah! Rasanya saya malu sekali ketika berbincang dengan Iqbal. Bayangkan! Iqbal datang menghadiri Kajian di Maros dengan menempuh perjalanan sekitar empat jam. Jaraknya dari Maros sampai Kabupaten Sinjai (rumahnya) kurang lebih 200 KM. Saudara iparnya yang duduk bersebelahan nampak bersemangat untuk mendampingi. Mereka berdua berboncengan menggunakan sepeda motor.

“Pernah ikut pelatihan pijat ya?” saya bertanya agak usil kepada Iqbal. Dia menjawab dengan ramah "pernah", bahkan dia menjelaskan jenis pijat yang dia pelajari dan tekuni. Saya melanjutkan : "Wah, kalau begitu saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Apakah bisa saya merasakan pijatan Antum?” Iqbal mengiyakan. Dan pagi hari selepas tausiyah Shubuh, badan saya pun dibuat relaks dengan pijatannya.

Di sela-sela relaksasi pijat, saya berusaha untuk menggali sejarah hidupnya. Subhannallah! Perjalanan Iqbal untuk mengenal dakwah Salaf barangkali juga terbilang unik. Kenapa? Iqbal semakin yakin untuk belajar manhaj Salaf setelah banyak berbincang dengan Pak Burhan. Seorang buta juga yang sedang menekuni manhaj Salaf. Masya Allah! Hidayah memang benar-benar milik Allah. Diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Bahkan kepada orang-orang yang buta sekalipun.

Kini, Iqbal telah merasa bahagia. Seorang istri yang normal penglihatannya ditambah dua anak, membuat Iqbal berusaha untuk terus bersyukur. Apalagi kini Iqbal sekeluarga telah pindah domisili, berdampingan dengan masjid As Sunnah di Kabupaten Sinjai. Di masjid itu, Iqbal bertugas sebagai muadzin. Sebuah masjid yang dibangun dan dikelola oleh Salafiyyin Sinjai.

Saudara-saudaraku ikhwan Lendah dan sekitarnya, kira-kira apa yang kita rasakan setelah mendengar cerita atau membaca cerita ringkas ini? Walaupun saya tidak bisa dengan maksimal untuk menggambarkan, paling tidak inti cerita telah tersampaikan. Maafkan saya yang kurang bisa merangkai kata-kata.

Perlombaan meraih surga dengan jalan thalabul ilmi diikuti oleh sekian banyak peserta. Masing-masing berusaha untuk memperoleh kemudahan menuju pintu surga dan masuk ke dalamnya. Surga yang penuh dengan berbagai macam kenikmatan dan kelezatan yang bersifat abadi. Apakah kita ingin disalip dan tertinggal oleh saudara-saudara kita yang buta?

Lihatlah, saudara-saudara kita yang buta telah melangkah lebih maju satu tapak. Didalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari Rahimahulloh menjelaskan bahwa seorang hamba yang diuji dengan kebutaan lalu ia bersabar, niscaya Allah akan menggantinya dengan surga. Bukankah mereka yang buta hanya perlu bersabar saja untuk dapat meraih surga? Apalagi jika mereka bersemangat untuk thalabul ilmi.

Saya minta tolong kepada panjenengan yang mempunyai saudara atau sahabat buta, tolong bacakan tulisan ini kepadanya. Barangkali tulisan ringkas ini bisa menjadi pelecut semangat mereka untuk lebih baik dan lebih bersemangat lagi dalam berthalabul ilmi. Tolong sampaikan kepadanya, bahwa marilah kita berlomba-lomba didalam kebaikan. Anda, saya dan dia mempunyai kesempatan yang sama dalam meraih surga. Mari terus berpacu!

Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Lendah Kulonprogo
05 Sya'ban 1437 H
11 Mei 2016 M

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
http://tlgrm.me/kajianislamlendah
Channel khusus renungan :
@renunganikhwan
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Tidak ada komentar:

Posting Komentar