RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
(Edisi 32)
Ada dua pelajaran hidup yang bisa saya catat pada Jum'at pagi lusa kemarin. Dari aktivitas keseharian, kita selalu dituntut untuk mau dan mampu mengambil pelajaran-pelajaran hidup. Belajar dari pengalaman masa lalu akan memaksimalkan hasil dalam mereka-reka rencana masa depan. Teori atau konsep beragama yang telah dipelajari bertahun-tahun di berbagai majlis ilmu, pastilah bermanfaat jika dapat diaplikasikan dalam hidup nyata.
Ceritanya, ada dua sahabat yang hendak menitipkan “sesuatu” untuk Perpustakaan Islam Lendah. Sahabat pertama menyerahkan etalase kaca ukuran 2,5 m x 1,6 m x 60 cm. Sementara sahabat saya yang kedua menginginkan ayunan besi untuk mainan anak miliknya bisa dimaksimalkan. Tanpa direncanakan atau direkayasa, kedua sahabat saya tersebut sama-sama berasal dari Kebumen lalu bedomisili di Yogyakarta.
Etalase milik sahabat saya yang pertama, sebenarnya ia gunakan untuk menyimpan dan menata alat-alat juga sparepart untuk servis dan reparasi laptop. Sahabat saya itu memang seorang servisor laptop. Mendengar bahwa Perpustakaan memerlukan rak untuk meletakkan kitab-kitab, sahabat saya tergerak hatinya untuk menyumbangkan etalase tersebut. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan sebanyak-banyaknya.
Tentang ayunan, sahabat saya yang kedua mempunyai kisah tersendiri. Rupanya, ayunan tersebut sudah berumur lebih dari dua puluh tahun. Ayunan itu telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan keluarganya. Oleh sebab itu, ketika pindahan dari Kebumen ke Yogyakarta, ayunan besi itupun diboyong serta. Mengetahui bahwa Perpustakaan sedang mengupayakan fasilitas untuk permainan anak-anak, sahabat saya akhirnya terketuk hatinya untuk menyumbangkan ayunan besi tersebut. Semoga Allah meridhainya.
Bagaimana cara menjemput dua barang berharga itu? Saya meminta bantuan dari sahabat saya yang lain. Mas Anto Palihan, namanya. Sebuah mobil colt terbuka miliknya saya mohonkan untuk digunakan sebagai alat angkut. Anggota tim pengangkut berangkat menyertai saya. Mereka adalah mas Bayu, mas Heru dan mas Dadang.
Masya Allah! Setelah menyaksikan etalase secara langsung, kami menyimpulkan bahwa ayunan besi tidak dapat diangkut dengan sekali jalan. Harus dua kali angkut! Membayangkan bentuk ayunan besi pada umumnya, juga ukuran lazimnya, sangat tidak memungkinkan untuk membawa keduanya sekaligus. Bak mobil colt milik mas Anto tidak akan cukup! Etalase saja sudah hampir separuhnya.
Itu pikiran sempit kami. Pikiran yang hampir selalu menemani kita dalam menghadapi berbagai persoalan. Sudah menganggap tidak mungkin, padahal belum dicoba. Sudah mengira tidak bakal mampu, padahal masih sebatas kira-kira. Kita mundur sebelum bertempur dan kita menyatakan menyerah padahal maju selangkah saja belum. Tergesa-gesa mengambil kesimpulan sebelum mempelajari masalah dengan detail. Itulah penyakit parah kita!!!
“Pokoknya, kita tetap ke rumahnya! Lha wong saya sudah telpon dan janjian untuk mengambil ayunan besi itu je! Perkara nanti nggak kebawa, urusan keri, belakangan. Kita bisa minta maaf karena hari ini, ayunan miliknya tidak jadi kebawa”. Keputusan itu saya ambil. Padahal saya juga sependapat dengan tim bahwa mengangkut etalase dan ayunan besi sekaligus adalah tidak mungkin.
Masya Allah! Setibanya di rumah sahabat saya yang kedua dan setelah rembug sana rembug sini, atur kesana dan kemari, diukur-ukur, akhirnya kedua barang “berharga” itu bisa diangkut sekaligus. Rupanya tidak sesulit yang dibayangkan dan tidak serumit yang dianggap. Mudah. Ternyata ada solusi dan mempunyai jalan keluar. Akhirnya etalase dan ayunan besi bisa nangkring di atas bak mobil colt. Bahkan ada bonusnya, yaitu kurungan burung dan closed duduk.
Dalam konteks dakwah, kita barangkali sering seperti itu. Menganggap si A akan menolak dan mengira si B akan membantah. Menyangka si C tidak suka kepada kita atau si D akan sulit didakwahi. Padahal? Kita bertemu dan berbicara saja belum pernah dilakukan. Nyatanya, sudah banyak orang yang dianggap akan menolak dakwah malah langsung menerima.
Disitulah penyakit kita! Pesimis terlebih dahhulu sebelum berdakwah atau ketika akan menyampaikan al haq, kita sudah berkecil hati. Merasa malu, sungkan atau takut mungkin saja sudah melekat pada watak kita saat hendak berdakwah. Padahal Panjenengan akan merasa bahwa dakwah itu mudah dan tidak serumit yang dibayangkan, ketika sudah benar-benar menjalaninya. Asalkan Panjenengan ikhlas, jangan mundur sebelum melangkah maju!
00000_____00000
Dalam perjalanan pulang ke Lendah dari Jogja, kami berlima singgah ke rumah Mbah Ijan. Orangnya masih muda sebenarnya, namun sudah sejak lama teman-temannya memanggil beliau dengan sebutan Mbah. Dulunya Mbah Ijan tergabung dan aktif dalam kegiatan organisasi kepemudaan yang berafiliasi pada sebuah partai. Garang, bengis, keji dan tega-an adalah karakternya saat masih aktif. Bahkan ciri khas yang melekat padanya adalah sebuah celurit berukuran raksasa sebagai pegangannya. Saya tidak menyangka ketika melihat penampilannya yang sekarang, setelah mengenal dakwah Salaf, Mbah Ijan terlihat kalem, lembut dan halus.
Kenapa saya meminta rombongan untuk singgah walau sebentar di rumahnya? Menurut informasi, sudah lebih dari satu tahun Mbah Ijan tidak lagi aktif dalam taklim dan kegiatan Salafiyyin. Saya hanya ingin menengok serta “ngaruhke”. Sebagai seorang saudara, sudah seyogyanya kita saling mencari dan merasa kehilangan. Bukankah demikian?
Subhaanallah! Saya tidak mungkin akan bisa seperti Mbah Ijan! Ternyata sekian lama tidak aktif taklim atau kegiatan Salafiyyin disebabkan Mbah Ijan merawat ibunya yang telah berusia 90 tahun. Ibunya buta karena katarak. Lemah, kurus. Saya mohon ijin untuk menjenguk ibu beliau secara langsung dan sayapun tertegun.
“Ustadz, yang membuat saya semangat untuk merawat adalah ibu saya sampai detik ini masih shalat. Walaupun dengan duduk”, kata Mbah Ijan.
Iya, Mbah Ijan adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Selain Mbah Ijan, tidak ada satu pun kakaknya yang mempunyai perhatian kepada sang ibu. Sampai ke kamar mandi dan -mohon maaf- buang hajat, Mbah Ijan yang merawatnya secara langsung. Seakan ibu itu hanya mempunyai satu orang anak saja.
Demi merawat sang ibu, Mbah Ijan rela kerja serabutan. Lokasi kerjanya pun hanya di sekitaran rumah, di lingkungan tetangga-tetangga. Sebab, Mbah Ijan tidak dapat jauh dan lama meninggalkan ibunya. Setiap satu jam sekali atau dua jam, Mbah Ijan pulang ke rumah untuk melayani ibunya. Oleh sebab itu, pekerjaan apapun akan dilakoni Mbah Ijan asalkan hanya di sekitar rumahnya.
Demi merawat sang ibu, Mbah Ijan belum berpikir untuk berumah tangga padahal janggut dan rambutnya telah terlihat memutih sebagiannya. Siang dan malam hampir tidak ada bedanya sebab Mbah Ijan harus selalu siap bangun di malam hari. Rumah sederhana di pinggir jalan aspal itu hanya ditempati oleh Mbah Ijan dan ibunya.
Mbah Ijan terlihat kikuk ketika saya datang. Katanya, "Ustadz, kulo memang keset. Pemalas dan tidak pernah taklim. Saestu, Ustadz”. Mbah Ijan nampak merasa bersalah karena sudah cukup lama tidak thalabul ilmu dan cukup lama tidak hadir di majlis taklim.
“Mbah, kalau saya pada posisi Panjenengan, saya pun akan melakukan hal yang sama. Panjenengan sudah benar. Masih banyak orang-orang rajin ngaji namun tidak bisa berbakti kepada orang tua seperti yang Panjenengan lakukan ini. Tidak semua orang bisa bersabar seperti Panjenengan”, hibur saya.
Kemudian -walaupun tidak seberapa-, saya menitipkan sesuatu untuk membelikan gula teh ibunya. Matanya berkaca-kaca. Genggaman tangannya erat kuat terasa saat saya menjabatnya untuk berpamitan.
Astaghfirullah! Ya Allah, ampunilah hamba yang sudah banyak kali berprasangka buruk kepada saudara-saudara saya. Berprasangka mereka telah futur, telah menjauh dari majlis ilmu, telah berpaling dari manhaj salaf, telah meninggalkan thalabul ilmi, padahal ternyata mereka sedang berjihad dalam ibadah yang agung.
Saudaramu di jalan Allah
Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz
Lendah, Kulonprogo
Malam 21 Ramadhan 1437 H
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
http://tlgrm.me/kajianislamlendah
Channel khusus renungan :
@renunganikhwan
Versi blog :
http://bit.ly/28Xsxk5
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
Tidak ada komentar:
Posting Komentar