Rabu, 29 Juni 2016

Belajar Memahami Arti Hidup

RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
(Edisi 34)

Masih ingat pak Marhaban yang saya ceritakan pada Renungan Untuk Ikhwan Lendah edisi ke-22 ?
Pak Marhaban yang sosoknya menggambarkan kesungguhan di dalam mendidik anak?
Iya, pak Marhaban yang bertahun-tahun berjuang menyekolahkan putrinya di Ma'had Ar Ridha Sewon Bantul. Padahal jarak rumah beliau sampai ketempat belajar lebih dari 40 km. Setiap hari pak Marhaban pulang pergi sejauh itu demi pendidikan putrinya.

Alhamdulillah, janji saya kepada pak Marhaban telah tertunaikan. Beberapa hari yang lalu, saya sekeluarga dengan menggunakan mobil Ceria datang berkunjung ke rumahnya di Samigaluh, salah satu puncak ketinggian di Kulon Progo. Sengaja saya sekeluarga berkunjung di sore hari, sekaligus berbuka puasa di rumahnya. Supaya lebih berkesan, kira-kira begitulah maksud saya.

Paling tidak ada satu jam perjalanan untuk sampai ke rumah pak Marhaban dari Lendah. Setelah mulai memasuki kecamatan Samigaluh, kami disuguhi pemandangan alam pegunungan yang elok luar biasa. Subhaanallah! Secara reflek, saya menyatakan : ”Sudah ini yang disebut dengan Kulonprogo The Jewel of Java!”

Jalanan aspal meliuk-liuk berdampingan dengan aliran sungai yang jernih airnya. Bebatuan hitam yang banyak menumpuk dan tersebar di sepanjang sungai telah menciptakan arus dan gelombang yang mengesankan. Jalanan naik turun, terkadang tikungan tajam berada di depan. Semakin kami jauh masuk ke ketinggian, jalanan mulai mengecil. Namun, view map-nya semakin bertambah indah.

Kami menyusuri jalan aspal kecil di punggung dan bahu perbukitan. Di seberang sana, perbukitan yang lain seakan menjadi penyeimbang. Di antara dua perbukitan yang saling berhadapan, aliran sungai berada di tengah dan dalamnya jurang. Hijau dan menyegarkan! Menurut keterangan penduduk setempat, beberapa waktu ke depan, lokasi itu akan dijadikan bendungan setinggi 150 m. Program nasional, katanya.

Akhirnya tiba juga kami di rumah pak Marhaban. Sejuk dan menentramkan. Rumahnya yang dulu hanya gedhek, telah direhab melalui program Bedah Rumah dari Kabupaten Kulonprogo. Air kebutuhan rumah tangga dialirkan secara bergiliran dua hari sekali. Di sebelah rumah, kandang kambing dan sapi hampir berjejeran. Ternak adalah tabungan untuk orang desa seperti pak Marhaban.

Sederhana dan apa adanya. Kesimpulan itu saya ambil dari kehidupan pak Marhaban. Sederhana dan apa adanya adalah gambaran kehidupan dari ikhwan-ikhwan yang saya kenal di Kulonprogo. Desa dan perkampungan sebagai lokasi menetap sangat berpengaruh pada gaya hidup dan pola berpikir mereka. Meskipun demikian, mereka masih bisa bercanda dan tertawa bahagia. Dunia ini tidak dianggap susah!

Sebelum sampai di rumah pak Marhaban, saya sempatkan untuk singgah di rumah pak Dul Cukur. Ikhwan yang satu ini profesinya memang sebagai tukang cukur. Oleh sebab itu saya singgah untuk mendapatkan servis cukur dari beliau. Orangnya enerjik dan selalu optimis. Tersenyum dan mudah bergaul adalah salah satu cirinya. Maka wajar jika langganan cukurnya dalam satu bulan mencapai rata-rata 1.500 orang. Setiap hari 50-an pelanggan (tidak perlu menghitung hasilnya...he...he).

Saya akhirnya merasakan servisnya. Dibuat sehigenis mungkin, diajak bercanda dan penuh komentar-komentar cerdas. Sambil memegang leher dan ditekan, misalnya. Pak Dul mengatakan : "Wah, ini sehat dan kuat”. Sambil memeriksa kulit kepala, pak Dul mengatakan : ”Kalau ini, shamponya pasti cocok!”. Spesialnya, setelah selesai proses cukur, saya menikmati servis pijat kepala dan bahu secara gratis dari pak Dul.

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk bekerja dengan etos tinggi. Kita dituntun untuk menjaga kehormatan diri dengan bekerja, walau dipandang orang hina. Sampai-sampai Rasulullah menjelaskan bahwa lebih baik mengumpulkan kayu dan ranting lalu diikat untuk dijual sebagai bahan bakar daripada hidup dengan meminta-minta atau mengharapkan pemberian dari orang lain. Jangan bergantung kepada orang lain!

Renungan Ikhwan:
Dalam kajian Riyadhus Shalihin pagi tadi, kita telah membaca keterangan dari Imam An Nawawi tentang Bab : Anjuran untuk makan dari hasil kerja sendiri. Lihatlah Rasulullah bekerja sebagai seorang penggembala kambing sebelum diangkat menjadi Rasul.  Beliau pandai berdagang dan berniaga. Sahabat-sahabat beliau pun demikian. Mereka adalah orang-orang yang menjaga kehormatan diri dengan bekerja mandiri.

Para ulama kita seperti itu pula. Sampai-sampai ada dari mereka yang mempunyai gelar atau julukan sesuai dengan latar belakang profesinya. Ada Az Zayyat (penjual minyak), Ad Dustuwa'i (pengimpor kain Dustuwa), Al Khayyat (si tukang jahit), Al Bazzaz (si penjual kain) dan masih banyak lagi. Artinya, tidak perlu malu dengan status pekerjaan Anda! Asalkan halal, kenapa takut?

Lagipula, Anda harus tegas hati untuk memilih-milih jenis pekerjaan! Pilihlah yang bisa menentramkan hati, yang bisa membantu Anda untuk thalabul ilmi, yang mendukung Anda dalam beribadah dan pekerjaan yang jauh dari kecurangan atau unsur kedustaan.

Seperti mas Marhaban (bukan pak Marhaban yang ikhwan Samigaluh, kalau mas Marhaban yang ini ikhwan Lendah).  Mas Marhaban yang pernah membuat heboh dikampungnya karena putus kuliah ini tetap saja dipercaya oleh pak Dukuh untuk membina anak-anak TPA. Orangnya masih muda dan belum menikah, mas Marhaban akhirnya kita pilih untuk menjadi bagian Logistik di Perpustakaan Islam Lendah.

“Kemarin saya menjual beberapa ekor menthok. Dapat 700.000. Cukup untuk hidup lima bulan, Ustadz”. Ujar mas Marhaban kalem. Saya komentari : "Lha, Antum masih bujang”. Pernah mas Marhaban menjual seekor kambing dengan harga yang bisa digunakan untuk memperpanjang pajak kendaraan. Bahkan, untuk membeli sebuah handphone android, mas Marhaban cukup menjual beberapa ekor ayam.

Sederhana dan apa adanya!

Kurang lebih sama dengan Mas Tris. Bakul Mie Ayam dari Grogol, Bantul. Semangat ngajinya luar biasa! Minimal jarak rumah sampai ke Lendah adalah 13 km. Beliaupun pun seringnya juga mengikuti kajian malam, selain pagi setelah Shubuh. Jarak tempuh 13 km dikali 4 kali jalan. Jauh bukan?

“Ramadhan seperti ini libur total, Mas Tris ?”,saya bertanya. Mas Tris mengiyakan. Kemudian saya lanjut bertanya : "Lah, untuk kehidupan selama bulan Ramadhan, pripun?”. Rupanya Mas Tris menabung botol-botol saus. Hitungannya? Botol-botol saus dikumpulkan selama satu tahun. Rata-rata per tahun terkumpul 80 krat. Setiap krat ada 24 botol. Jika setiap botol diharga minimal Rp 900, sudah hampir dua juta digenggaman tangan.

Nah, uang sebanyak itu diambil mas Tris pada akhir bulan Sya'ban sebagai modal hidup selama Ramadhan.

Masya Allah! Saya banyak belajar tentang arti kehidupan dari ikhwan-ikhwan di sekeliling saya. Mereka mengajarkan kepada saya bahwa hidup tenang di dunia tidak harus diraih dengan uang atau harta materi. Bertani dan beternak atau berdagang kecil-kecilan pun bisa membuat tenang hidup di dunia. Sisa waktu yang ada lalu digunakan untuk kumpul keluarga, ibadah, ngaji dan kerja bakti.

Pantas saja kalau Panjenengan diajak kerja bakti terlihat semangat, sebab Panjenengan tidak terikat dengan pekerjaan tertentu. Mandiri dan berdikari. Semoga tetap istiqomah di jalan Allah!

Saudaramu di jalan Allah

Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz

Lendah, Kulonprogo
malam ke-24 Ramadhan

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
http://tlgrm.me/kajianislamlendah
Channel khusus renungan :
@renunganikhwan
Versi blog :
http://bit.ly/28Xsxk5
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Tidak ada komentar:

Posting Komentar