RENUNGAN UNTUK IKHWAN LENDAH
Edisi 46
Puncak Penghambaan
Coba bayangkan jika posisi Panjenengan adalah seorang ayah. Ayah dari seorang anak laki-laki, tunggal, shaleh, dan menyenangkan. Bahkan anak laki-laki tersebut hadir dalam kehidupan Panjenengan, setelah puluhan tahun berumah-tangga tanpa keturunan. Sangat dirasa bahagia bagi mereka yang telah puluhan tahun berumah-tangga, kemudian Allah karuniakan seorang anak yang sehat dan menggemaskan.
Saya yakin jika dalam posisi seperti di atas, Panjenengan akan melimpahkan perhatian dan kasih sayang yang besar kepada anak tersebut. Semua rela dikorbankan, asalkan anak itu bahagia. Seluruh cara akan ditempuh supaya ia bisa tertawa dan tidak menangis. Itulah kita!
Kemudian bayangkan selanjutnya, ketika anak tersebut jatuh sakit. Bukankah Panjenengan akan bersedih dan galau? Apalagi jika dalam posisi seperti demikian, anak itu tiba-tiba meninggal dunia. Bisakah kita meraba seperti apakah kesedihan dan kegalauan orangtuanya? Pasti sangat-sangat bersedih. Mesti begitu kehilangan. Sebagai orangtua, Panjenengan merasa harapan hidup yang paling berharga telah hilang!
Nabi Ibrahim 'Alaihis salam harus kita pilih sebagai teladan dalam hal ini. Setelah puluhan tahun berumah-tangga, beliau masih juga belum memperoleh karunia dari Allah berupa keturunan. Bahkan beberapa riwayat menyebutkan usia beliau telah mencapai lebih dari delapan puluh tahun, saat putra pertama beliau lahir, yaitu Ismail. Bayangkan kehidupan rumah-tangga beliau yang puluhan tahun dijalani tanpa anak!
Lalu dengan kuasa dan kehendak Allah Ta'ala, Nabi Ibrahim memperoleh karunia berupa seorang anak laki-laki. Sejak saat itu, perhatian dan kasih sayang Ibrahim ditumpahkan dan dicurahkan untuk Ismail, putranya. Kecintaan Ibrahim kepada Ismail sangatlah besar dan luar biasa. Hati Ibrahim telah memunculkan cabang cinta yang baru. Cinta kepada putranya.
As Sa'di dalam Tafsirnya mengatakan : "Allah pun menghendaki agar kasih sayang Ibrahim menjadi suci, cintanya yang tuluspun diuji. Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih seseorang yang cinta Ibrahim kepadanya, telah mengganggu cinta Ibrahim kepada Allah”. Ujian diluar batas kemanusiaan menurut kita! Namun, Ibrahim menjadi teladan untuk setiap orang agar selalu memilih dan mendahulukan cintanya kepada Allah, dibandingkan dengan cinta yang lain.
Ibrahim memalingkan muka supaya tidak menyaksikan secara langsung, ketika nantinya Ismail betul-betul disembelih. Ismail sendiri telah ridha dan menerima keputusan dari Allah. Bahkan Ismail meyakinkan ayahanda, agar mendahulukan perintah Allah di atas segala perasaan atau pertimbangan yang lain : "Ayah, laksanakanlah perintah Allah kepada Ayah. Ayah akan menyaksikan bahwa diriku termasuk hamba yang bersabar, Insya Allah."
Pisau tajam telah digenggam di tangan. Ismail telah berada pada posisi siap untuk disembelih. Wajahnya menempel di atas tanah. Ibrahim sendiri telah dalam keadaan siap menyembelih. Mereka berdua, yaitu ayah dan anak, benar-benar satu hati untuk bersama-sama melaksanakan perintah Allah. Allah adalah segala-galanya. Tidak ada yang menandingi cinta hamba kepada Allah.
Anugrah dari Allah lantas diperlihatkan. Jika Ibrahim benar-benar lebih memilih cintanya kepada Allah, sampai-sampai ia dengan kebulatan tekad dan ketulusan niat ingin menghilangkan sebab yang membuat cintanya terbagi, lalu untuk apalagi Ibrahim harus menyembelih putranya? Ibrahim telah lulus uji. Ibrahim benar-benar membuktikan bahwa cintanya kepada Allah tidak tertandingi. Ibrahim adalah teladan para pecinta.
Momen Idul Adha ini mengingatkan saya bahwa sampai hari ini, saya belum bisa sepenuhnya meneladani Nabi Ibrahim. Dalam hal apa? Menyerahkan segala yang dimiliki untuk meraih ridha Allah. Memberikan semua yang dipunya di jalan Allah. Saya masih memilih-milih, saya masih setengah hati dan saya masih belum mencapai totalitas yang dituntut dari setiap hamba. Saya masih sering mendahulukan cinta kepada selain Allah. Astagh-firullah wa atuubu ilaih.
Bagaimana dengan Panjenengan, saudaraku?
Mampukah kita
sekedar
meninggalkan pekerjaan
disebabkan mengganggu cinta kita kepada Allah ?
Bisakah kita
meninggalkan kampung halaman
hanya karena tidak dapat mengungkapkan rasa cinta kepada Allah ?
Tidak-kah kita mempunyai keinginan
untuk berhenti dari sebuah hoby atau kegiatan
hanya disebabkan
telah mengurangi proses penyerahan cinta kita sepenuhnya kepada Allah ?
Ah,
masih banyak dari kita
yang lebih memilih pekerjaan atau profesi.
Padahal pekerjaan tersebut
menghalangi kita untuk beribadah.
Ah, masih banyak dari kita
yang enggan
atau berat
untuk pindah ke lokasi lain yang lebih kondusif atau mendukung untuk beribadah,
sementara
tempat tinggal kita sekarang
sangat tidak mendukung untuk beribadah.
Ah, masih banyak dari kita
yang masih mementingkan hoby
daripada thalabul ilmi.
Allahul musta'an.
Contohlah Nabi Sulaiman. Beliau yang mempunyai kuda peliharaan dengan kualitas luar biasa. Warnanya mengagumkan. Fisik dan bodinya menakjubkan. Ketika berhenti dari larinya yang kencang, kuda milik nabi Sulaiman mampu berdiri tegak dengan hanya menggunakn satu kaki saja. Nabi Sulaiman yang terus mengagumi kudanya, rupanya terlena. Sampai malam tiba, Nabi Sulaiman lupa untuk berdzikir dan beribadah kepada Allah.
Pada saat seperti itu, Nabi Sulaiman membuktikan bahwa cintanya kepada Allah melebihi semua cinta dan segala macam cinta. Apapun yang bisa menghalangi atau mencegah dari cinta kepada Allah haruslah ditinggalkan. Lalu apa yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman? Beliau kemudian menyembelih kuda-kuda tersebut.
Subhaanallah! Demikianlah para Nabi dan Rasul mengajarkan untuk kita tentang makna dan hakikat cinta kepada Allah!
Bagaimana dengan kita, saudara-saudaraku? Sampai pada tingkatan apa cinta kita kepada Allah? Mampukah kita mengalahkan semua kepentingan demi mendahulukan cinta kita kepada Allah? Bisakah kita menggeser seluruh keinginan, saat keinginan itu bertentangan dengan cinta kita kepada Allah?
Berdakwah di jalan Allah memerlukan spirit dan semangat semacam ini! Untuk kepentingan dakwah di jalan Allah, marilah kita mulai belajar untuk mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, kemampuan, harta dan jiwa kita. Selama demi kepentingan dakwah Islam, dakwah Ahlus Sunnah, apapun yang dimiliki dan semua yang dipunyai, hendaknya siap untuk dikorbankan.
Jangan malah sebaliknya, meninggalkan dakwah hanya karena urusan yang bertendesikan pribadi atau duniawi! Ingatlah bahwa cinta kepada Allah memerlukan pembuktikan, maka buktikan cintamu!
Malam Idul Adha 1437 H
Saudaramu di jalan Allah
Abu Nasiim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz
Lendah Kulonprogo
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
http://tlgrm.me/kajianislamlendah
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
Tidak ada komentar:
Posting Komentar