Anak-anak kita mesti sering diberi pemahaman tentang realita kehidupan yang pasti akan dihadapi.
Dunia tidak sesempit ruang keluarga. Dunia tak sesederhana pesantren. Ibarat hutan, kehidupan dunia sangatlah liar dan buas. Sampai-sampai di beberapa tempat, hukum rimba disebut sebagai aturannya.
Contohnya, bisa kita sebutkan, ketidakjujuran. Alhamdulillah, secara hukum agama, anak-anak kita telah mengerti wajibnya bersikap jujur. Tidak boleh menipu. Jangan berbohong. Dilarang khianat.
Namun, realita kehidupan tentu berbeda. Nah, banyak prinsip kebaikan yang bisa diajarkan dan ditanamkan kepada anak-anak. Supaya mereka siap mental dan sikap jika suatu masa dihadapkan pada ketidakjujuran.
Langkah pertama : Mulai dari diri sendiri yang harus bersikap jujur. Sebab, apa yang didapat sesuai dengan yang diperbuat. Jangan berkhianat agar tidak dikhianati.
Berdoa kepada Allah Ta'ala agar diberi dan didekatkan dengan orang-orang yang jujur. Memohon kepada- Nya supaya dijauhkan dari orang-orang yang bersifat khianat. Ini langkah yang tak boleh terlewatkan.
Ketiga : pilih-pilih dan selektif ketat dalam berteman. Bukannya menutup diri atau merasa suci, akan tetapi memilih teman adalah hak setiap orang. Apalagi, Islam memerintahkan untuk selektif berteman.
Tak kalah penting adalah belajarlah dari pengalaman. Jangan melakukan kesalahan yang sama. Setiap orang bisa salah. Setiap orang mungkin gagal. Tapi, upayakan jangan terulang.
***
Tak sedikit teman yang mengeluh. Atau sebut saja bertukar pikiran. Diskusi. Bisa dikata meminta masukan dan saran.
Keluhan itu tentang orang yang ia percaya di dunia usaha. Ia sebagai pemodal. Orang tersebut yang menjalankan usaha.
Awalnya baik-baik saja. Agak jauh berjalan, ia merasa ada yang janggal. Aneh. Sesuatu tidak beres. Sebenarnya ia sudah berusaha husnuzan; berprasangka baik.
Namun semakin lama semakin terasa. Bertambah jauh melangkah bertambah parah. Akhirnya, terungkaplah jika orang yang ia percaya telah khianat. Berlaku tidak jujur.
Singkat kata, orang itu mengaku salah. Mengakui ketidakjujuran nya. Semua ia buka. Ia minta maaf. Ia berjanji tak akan mengulangi. Bahkan, semua kerugian ia ganti. Pernyataan hitam di atas putih pun ia buat.
Apa yang seharusnya ia lakukan?
Sebagai teman, saya hanya bisa sekadar memberi saran : " Sudahlah maafkan saja orang itu! Apa yang dikembalikan, diterima. Tak perlu hitung-hitungan yang njlimet. Kalaupun ada yang terlewatkan, niatkan sedekah. Setelahnya tetap ia temanmu"
" Usaha itu apakah tetap saya percayakan kepadanya? ", ia bertanya.
Saya jawab," Itu hakmu. Setiap orang punya hak untuk memilih siapa yang ia percaya untuk menjalankan usaha. Tidak wajib dengan si A atau si B "
" Misalnya, saya tidak melanjutkan dengan orang itu? ", ia mengejar.
Saya bilang, " Sah-sah saja. Boleh. Apalagi dengan track record nya. Jangan mengulangi kesalahan yang sama! "
Mengenai hal ini, Nabi Muhammad ﷺ bersabda :
لا يُلْدَغُ المؤمنُ من جُحْرٍ مرتين
" Orang beriman itu, jangan sampai disengat binatang berbisa di lubang yang sama "
HR Bukhari 6133 Muslim 2998 dari sahabat Abu Hurairah.
Beberapa literatur menyebut latar belakang hadis di atas.
Dulu ada seorang penyair terkenal bernama Abu Azzah Al Jumahi. Ia sering menyerang dan menjelekkan Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat. Kata-katanya tajam dan pedas.
Saat perang Badar, Abu Azzah tertangkap. Sebagai tawanan perang, untuk bebas ia diberi opsi membayar tebusan.
Namun, ia mengemis-ngemis kepada Nabi Muhammad ﷺ. Alasannya ia miskin. Karena iba, Nabi Muhammad ﷺ membebaskannya tanpa tebusan.
Setibanya di Mekkah, ia berulah. Abu Azzah kembali menyerang Nabi Muhammad ﷺ dengan bait-bait puisi. Syair bernadakan hinaan dan ejekan ditujukan kepada kaum muslimin.
Perang Uhud, tepatnya peristiwa Hamra'ul Asad, Abu Azzah tertangkap pasukan Islam.
Abu Azzah mengemis-ngemis lagi untuk dimaafkan. Ia berjanji tak akan mengulangi kejahatannya.
" Tidak, demi Allah! Jangan sampai engkau menghina lagi sesampainya di Mekkah. Jangan sampai engkau cerita : Aku berhasil menipu Muhammad dua kali ", jawab Nabi Muhammad ﷺ.
Abu Azzah lantas dihukum mati.
" Berarti bagaimana sikap saya? ", kembali ke teman saya yang di atas.
" Ya sudah. Tetap berhubungan dengan orang itu. Ngaji. Ngobrol. Komunikasi biasa. Tapi, tidak usah lagi bekerjasama sama dalam bidang usaha. Biarlah orang itu memperbaiki diri. Toh, kerjasama masih bisa dia lakukan dengan yang lain. Tidak harus denganmu, kan? " , saran saya.
Pokoknya, jangan ulangi kesalahan yang sama. Baarakallah fiik
Makassar 12 Shafar 1444 H/08 September 2022
t.me/anakmudadansalaf
Dulu ada seorang penyair terkenal bernama Abu Azzah Al Jumahi. Ia sering menyerang dan menjelekkan Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat. Kata-katanya tajam dan pedas.
Saat perang Badar, Abu Azzah tertangkap. Sebagai tawanan perang, untuk bebas ia diberi opsi membayar tebusan.
Namun, ia mengemis-ngemis kepada Nabi Muhammad ﷺ. Alasannya ia miskin. Karena iba, Nabi Muhammad ﷺ membebaskannya tanpa tebusan.
Setibanya di Mekkah, ia berulah. Abu Azzah kembali menyerang Nabi Muhammad ﷺ dengan bait-bait puisi. Syair bernadakan hinaan dan ejekan ditujukan kepada kaum muslimin.
Perang Uhud, tepatnya peristiwa Hamra'ul Asad, Abu Azzah tertangkap pasukan Islam.
Abu Azzah mengemis-ngemis lagi untuk dimaafkan. Ia berjanji tak akan mengulangi kejahatannya.
" Tidak, demi Allah! Jangan sampai engkau menghina lagi sesampainya di Mekkah. Jangan sampai engkau cerita : Aku berhasil menipu Muhammad dua kali ", jawab Nabi Muhammad ﷺ.
Abu Azzah lantas dihukum mati.
" Berarti bagaimana sikap saya? ", kembali ke teman saya yang di atas.
" Ya sudah. Tetap berhubungan dengan orang itu. Ngaji. Ngobrol. Komunikasi biasa. Tapi, tidak usah lagi bekerjasama sama dalam bidang usaha. Biarlah orang itu memperbaiki diri. Toh, kerjasama masih bisa dia lakukan dengan yang lain. Tidak harus denganmu, kan? " , saran saya.
Pokoknya, jangan ulangi kesalahan yang sama. Baarakallah fiik
Makassar 12 Shafar 1444 H/08 September 2022
t.me/anakmudadansalaf
0 Response to "Jangan Mengulangi Kesalahan Yang Sama"
Posting Komentar