Mengenai Saya

Foto saya
Sragen, Jawa Tengah, Indonesia
Kami adalah produsen gamis akhwat dan jilbab cadar safar. 0857-2544-5132

JUAL BELI SESUAI TUNTUNAN NABI

JUAL BELI SESUAI TUNTUNAN NABI bag 2

PENJABARAN SYARAT PERTAMA

Keridhaan Kedua Belah Pihak
Dalil persyaratan ini disebutkan dalam firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kailan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali de-ngan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
Juga dalam sabda Rasulullah :

“Sesungguhnya jual beli itu dengan keridhaan.”

Akal yang sehatpun menerima persyaratan ini. Karena jika tidak ada persyaratan ini, maka masing-masing orang akan saling mendzalimi dan bertindak melampaui batas terhadap orang lain.

✏q Masalah 1:
Jual beli orang yang dipaksa
Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli orang yang dipaksa hukumnya tidak sah. Mereka berhujjah dengan ayat dan hadits di atas, juga dengan hadits berikut:

“Sesungguhnya Allah  memaafkan dari umatku tindakan kesalahan, kealpaan, dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah 2045 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 7/356-357 dari Ibnu ‘Abbas  dengan sanad hasan karena banyak penguatnya. Lihat Nashbur Rayah, 4/64-66, dan Al-Maqashidul Hasanah hal. 369-371, no. 528)

Termasuk faedah dalam bab ini adalah jual beli seseorang karena malu, sebab tidak terwujud persyaratan keridhaan padanya.

✏qMasalah 2:
Jual beli orang yang bergurau
Misalnya, ada orang bergurau dengan orang lain, dia berkata: “Saya jual mobilku kepadamu dengan harga Rp. 500 ribu.” Jual beli seperti ini tidak sah, karena tidak ada niatan jual beli dan juga tidak ada keridhaan dari sang penjual.

Kita bisa mengetahui sang penjual sedang bergurau dengan qarinah (tanda/bukti-bukti). Bila tidak ada tanda-tanda gurauan, maka jual belinya sah. Sang penjual harus bisa mendatangkan bukti-bukti yang kuat bahwa dia tengah bergurau.

✏q Masalah 3:
Jual beli dengan orang yang tengah membutuhkan (uang)
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini:
1.    Jumhur ulama berpendapat, jual beli seperti ini sah namun makruh. Sebab, umumnya orang yang sedang butuh akan menjual barangnya dengan harga murah.
2.    Al-Imam Ahmad, dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani, berpendapat, haram hukumnya jual beli dengan orang yang sedang butuh. Beliau berhujjah dengan hadits:

“Rasulullah melarang jual beli orang yang sedang butuh.”
3.    Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) berpendapat, jual belinya sah tanpa ada hukum makruh. Sebab, jika dilarang mem-beli barang orang yang tengah membutuh-kan tadi, justru akan menambah mudharat (kesusahan) bagi yang bersangkutan.
Yang rajih (pendapat yang kuat), insya Allah, adalah pendapat Ibnu Taimiyyah. Karena, hadits yang dijadikan hujjah untuk melarang sanadnya dha’if. Hadits itu diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dari jalan seorang syaikh dari Bani Tamim, dari ‘Ali bin Abi Thalib.

Sanad ini di-dha’if-kan karena tidak diketahui siapa syaikh di atas. Meski ada penguat lain dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, namun dalam sanadnya ada perawi yang bernama Kautsar bin Hakim, di mana dia matruk (ditinggalkan hadits–nya). Sanadnya juga terputus antara Makhul dan Hudzaifah. Wallahu a’lam.

Ijab Qabul dalam Jual Beli
Termasuk dalam persyaratan pertama ini adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ijab qabul. Ijab adalah ucapan penjual: “Saya jual”, sedangkan qabul adalah ucapan pembeli: “Saya terima.”

✏q Masalah 4:
Apakah disyaratkan lafadz-lafadz tertentu dalam jual beli?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

1. Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan satu pendapat dalam madzhab Ahmad: Tidak sah jual beli kecuali dengan lafadz ijab dan qabul. Mereka beralasan bahwa ridha adalah perkara batin, dan kita tidak mungkin tahu adanya keridhaan dengan semata-mata perbuatan tanpa lafadz. Diamnya sang penjual terkadang karena kelalaiannya, dianggap akadnya main-main, atau diam untuk melihat sejauh mana sang pembeli mematok harganya.
Yang mendekati pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm: Tidak sah kecuali dengan lafadz “Saya jual” atau “Saya beli”.
2. Pendapat Abu Hanifah, satu pendapat dalam madzhab Ahmad, dan satu sisi pendapat Syafi’iyah: Jual belinya tetap sah dengan tindakan tanpa lafadz tertentu dalam perkara-perkara yang sering terjadi padanya jual beli, dengan ketentuan barangnya remeh, tidak besar, atau mahal.
Menurut mereka, jual beli barang yang besar atau mahal tidak sah kecuali dengan lafadz ijab dan qabul.
3. Pendapat Malik, Ahmad, sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah, seperti Ar-Ruyani. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ash-Shan’ani, dan Asy-Syaukani: Jual beli sah dengan apa saja yang dianggap oleh masyarakat sebagai jual beli, baik dengan lafadz atau dengan perbuatan.

Pendapat inilah yang rajih, sebab masalah ini tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa Arab. Sehingga dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat. Kaidah umum menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa, maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.

✏q Masalah 5:
Bila masalah di atas telah dipahami, jual beli mu’athah yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh adalah sah.
Gambaran mu’athah adalah: Pembeli memberikan uang kepada penjual dan mengambil barang tanpa lafadz ijab qabul.
Mu’athah ini bisa dari sang penjual. Misalnya, pembeli berkata: “Apakah kamu menjual barang ini kepadaku dengan harga sekian?” Lalu penjual memberikan barang-nya tanpa mengucapkan lafadz: “Saya terima.”
Mu’athah juga bisa dari sang pembeli. Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah kamu membeli barang ini dengan harga sekian?” Lalu sang pembeli mengeluarkan uang dan mengambil barang tadi tanpa lafadz ijab qabul.

✏q Masalah 6:
Bila sang pembeli berkata kepada penjual dalam bentuk pertanyaan: “Apakah engkau menjual barangmu ini?” Lalu penjual mengatakan: “Saya terima.”
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa akad ini tidak sah, karena tidak diketahui keridhaan sang pembeli. Demikian yang dinukilkan Ibnu Qudamah dan yang lainnya.

✏q Masalah 7:
Jual beli dalam bentuk janji

Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah engkau membeli barang ini dengan harga sekian?” Pembeli berkata: “Nanti akan saya beli.”
Janji seperti ini tidak dianggap sebagai akad jual beli, bagaimanapun bentuknya. Penjual tidak diharuskan menyimpan barang tadi (artinya dia boleh menjualnya kepada orang lain). Pembeli pun tidak diharuskan membeli barang tadi, walaupun telah menyerahkan DP (downpayment-, persekot/uang muka). Wallahu a’lam.

Jual Beli Menggunakan Alat-alat Modern Masa Kini
🔹Termasuk dalam bab ini adalah jual beli dengan piranti masa kini.

✏q Masalah 8:
Jual beli lewat telepon
Al-Imam An-Nawawi t pernah menyebutkan satu masalah: Jika ada dua orang yang saling berbicara dari tempat jauh, satu sama lain tidak saling melihat, yang terdengar hanyalah suaranya saja dan pembicaraannya adalah masalah akad jual beli, maka akadnya adalah sah.

Demikian pula lewat telepon. Dengan syarat, aman dari penipuan suara. Jika terjadi penipuan, maka dikembalikan kepada kaidah-kaidah umum jual beli.

✏q Masalah 9:
Jual beli lewat telegram, faksimili, atau Short Message Service (SMS)
masalah ini masuk dalam permasa-lahan jual beli lewat tulisan yang diper-bincangkan para fuqaha.
1.    Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak boleh. Karena adanya kemungkinan penipuan, kecuali bagi yang tidak mampu seperti orang bisu.
2.    Kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan pendapat sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, bahwa jual belinya tetap sah, bila kedua belah pihak saling mempercayai dan aman dari penipuan. Umumnya, alat-alat ini sendiri terpercaya di kalangan masyarakat.
Pendapat inilah yang rajih (kuat). Karena yang dimaksud dalam jual beli adalah keridhaan.

Dan keridhaan bisa dengan lafadz atau perbuatan, seperti tulisan. Allah  memerintahkan kita untuk menulis hutang piutang dan mendahulukan tulisan daripada gadai, dalam firman-Nya:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Al-Baqarah: 283)

❗❗Perhatian: Ini semua dengan satu syarat penting, yakni barang-barang yang dibeli tidak termasuk barang-barang yang disyaratkan harus diserahterimakan di tempat. Pembahasan masalah ini, insya Allah, dalam bab Riba.
Bersambung in syaa Allah..

Wallahu a’lam.

💺Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi : Majalah Islam AsySyariah

- http://asysyariah.com/jual-beli-sesuai-tuntunan-nabi

0 Response to "JUAL BELI SESUAI TUNTUNAN NABI"

Posting Komentar

Tokopeci Salimah Gallery

Salimah Gallery Distributor Busana Muslim, Madu Herbal di kota Solo