Sifat Shalat Nabi Bagian 1
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Alhamdulillah pada edisi ini dan selanjutnya, insya Allah kita akan melihat beberapa penjelasan berkenaan dengan sifat shalat Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam.
👋 Sebagian besar pembahasan di sini sengaja penulis nukil dari kitab yang mubarak, Shifat Shalat Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam dan “Asal-nya” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam), yang ditulis oleh Asy-Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Nuh, Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.
📚 Karena kitab yang beliau susun tersebut merupakan karya yang paling lengkap memuat sifat shalat Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam dalam babnya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh guru besar kami, Syaikh yang mulia, Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.
👉 Disamping itu, penulis juga berupaya menukil dan menambahkan dari beberapa referensi lainnya sebagai tambahan faedah berkenaan dengan pembahasan ini. ‘Tak ada gading yang tak retak’, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahul muwaffiq ilash shawab.
🔑 (1) Niat
Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.”
(HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)
✒ Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Niat adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.”
(Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)
⚠ Sudah berulang kali disebutkan bahwa niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah…” (Aku berniat mengerjakan shalat karena Allah Subhanahuwata'ala sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat…).
⛔ Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik.
📚 Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih.
🔇 Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji,
“Apabila seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak shahih penunaiannya terkecuali dengan nathq
(pelafadzan dengan lisan).”
📋 Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir (1/470):
“Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahuwata'ala meridhainya– tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”
✒ Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Bila Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali.
📞 Beliau juga tidak mengatakan, ‘Aku tunaikan untuk Allah Subhanahuwata'ala shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’.
👉 Demikian pula ucapan ada’an atau qadha’an ataupun fardhal waqti.
🔥 Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam, baik dengan sanad yang shahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (tidak bersambung). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat, demikian pula tabi’in maupun imam yang empat, tak seorang pun dari mereka yang menganggap baik hal ini.
💢 Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang belakangan) keliru memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –semoga Allah Subhanahuwata'ala meridhainya– tentang shalat. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir.”
🔓 Mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seseorang yang hendak shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram.
❓Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyukai perkara yang tidak dilakukan Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam dalam satu shalat pun, begitu pula para khalifah beliau dan para sahabat yang lain? Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf saja dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan penuh ketundukan dan penerimaan.
❌ Karena, tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari sang pembawa syariat Shalallahu'alaihi wa sallam. (Zaadul Ma’ad, 1/201)
🔹Insya Allah Bersambung🔹
📬 Sumber :
http://asysyariah.com/sifat-shalat-nabi-bagian-1/
____________
📚 WA TIC
(Tholibul Ilmi Cikarang)
_______________________
0 Response to "Sifat Shalat Nabi 1"
Posting Komentar