YAKIN, TIDAK MENANGIS ?
Matahari telah ke tempat peraduannya. Pertanda waktu malam telah mendapatkan gilirannya. Kumandang azan sedari tadi bersahutan, tapi tidak seramai dulu. Tidak semeriah sebelum gempa. Wajar saja, sebab listrik belum hidup di semua penjuru Palu. Orang-orang pun masih tertahan di tenda pengungsian.
Bernasib Sama
Malam ini adalah malam kedelapan sejak gempa mengguncang Kota kami, kota yang kami banggakan dan kami cintai. Seusai shalat Maghrib, saya menyempatkan berjalan di lorong-lorong kota. Saya sendiri termasuk korban gempa. Tapi, saya termasuk orang yang beruntung, masih diberi kesempatan hidup oleh Allah.
Menyusuri Jalan Wahid Hasyim adalah kebiasaan saya. Sebab, saya tinggal di salah satu sisi jalan yang tidak seindah dulu. Di sepanjang jalan tersebut, warga mendirikan tenda darurat untuk berteduh. Di dalam tenda apa adanya itu, mereka mencoba bertahan hidup.
Sebenarnya, lokasi ini bukanlah lokasi pengungsian. Sentra pengungsi ada di tempat lain. Akan tetapi, sebagian warga lebih memilih untuk bertahan di tanah sekitar rumahnya.
Kesempatan tersebut saya manfaatkan untuk singgah di tenda salah satu warga. Obrolan hangat sesama korban gempa terjalin antara saya dengan penghuni salah satu tenda. Di saat-saat seperti ini, orang yang tidak saling kenal menjadi akrab seperti saudara. Karena mengalami nasib yang sama. Persis dengan kami berdua di malam itu, malam kedelapan sejak malam mencekam minggu lalu.
Belum mendapatkan bantuan
Mata ingin menangis mendengar kisahnya. Hati terasa sedih menyimak tuturnya. Dada seakan remuk ketika mengikuti alur bahasa lisan dan tubuhnya. "Sejak awal gempa hingga hari ini, kami belum mendapatkan bantuan." Betapa menyedihkan nasib si bapak ini. Yang semakin membuat saya sedih, kondisi ini bukan dialami oleh dirinya saja. Tutur dan kisahnya tadi mewakili segenap pengungsi di sekitar tendanya.
Ya Allah, padahal mereka berada di Jalan Wahid Hasyim, kompleks yang terbilang mudah dijangkau. Bagaimana dengan nasib saudara-saudara kami di ujung sana, di tempat yang jauh dan terisolir. Ya Allah, berilah kesabaran untuk mereka dan berilah jalan keluar terbaik, Ya Allah.
Yang lebih mencengangkan, bapak tersebut berkata, "Lebih baik menjarah daripada mati kelaparan!" Allahu Akbar, jangan bapak! Teriakku dalam hati. Jangan sampai musibah duniawi menyeret kita hingga terjatuh dalam musibah akhlak dan perilaku.
Namun saya yakin, ucapan bapak tadi hanya sebatas kekesalan sesaat saja. Saya sendiri kurang percaya dengan tidak sampainya bantuan ke tenda ini. "Betulkah Bapak?"
Untuk membuktikan, saya diajak berkeliling ke tenda-tenda tetangga, sekaligus dipertemukan dengan Pak RW. Obrolan serius dengan Pak RW dimulai. Pak Nanang, Pak RW, lantas mendata nama-nama keluarga yang belum mendapatkan bantuan. Ada sekitar 17 KK yang masih terlantar hingga hari kedelapan.
"Kenapa tidak gabung sama warga lain di pengungsian to?" Tanya saya. "Kami khawatir rumah kami dimaling orang."
Berikutnya, saya juga diajak melihat dapur umum kelompok pengungsi ini. Mereka saling bantu-membantu memenuhi kebutuhan logistik mereka. "Ini dapur umum, kami saling baku bantu di sini!"
Berbagi sebelum Pergi
Merasa sudah cukup, saya mohon diri sambil memberikan beberapa paket bantuan yang sebenarnya mau didistribusikan untuk pengungsi di tempat lain. Tetapi mendengar cerita tadi, hati tidak tega membiarkan mereka. Beras, air mineral, mie instan dan telor diterima dengan senang hati.
Agar tetap terkoordinasi, kejadian ini saya sampaikan kepada koordinator lapangan Tim Peduli Bencana, Pak Jamal. Diketahui, nama bapak yang menemui saya pertama kali adalah Pak Anto. Semoga kami diberi kemudahan mendistribusikan bantuan sesuai dengan sasaran.
🌏 Ikuti update informasi dan programnya melalui:
✅ Channel Telegram:
https://t.me/pedulibencana
✅ Official Website:
https://pedulibencana.com
✅ Twitter:
@lombok_peduli
@PeduliSulteng
✅ Contact Person:
▪+62 878-6426-2106 (Wil. Lombok)
▪+62 857-5736-6967 (Wil. Palu)
▪+62 812-2733-7626 (Wil. Palu)
▪+62 852-5973-8752 (Umum)
0 Response to "Kisah Korban Gempa dari Pusat Kota Palu"
Posting Komentar