Budaya Konsumerisme
Oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsary hafizhohulloh
Konsumerisme merupakan fenomena yang telah lama populer di Barat. Dalam sistem kapitalisme Barat, konsumsi tanpa kontrol produk dan tidak menggunakan barang yang baru dibeli merupakan tindakan wajar.
Menurut sejumlah cendekiawan, perilaku konsumtif saat ini tidak terlepas dari perkembangan budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat. (Republika. co.id)
Besarnya pengaruh budaya konsumerisme ini telah lama melanda dunia. Kehidupan masyarakat pada umumnya diwarnai dan dikendalikan oleh kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendidik, karena justru mengajarkan keborosan, kerakusan, dan kesia-siaan dalam segala sesuatu yang dikonsumsi untuk kepuasan sendiri.
Lebih-lebih pada momen-momen khusus yang terjadi di sepanjang tahun, yang mendorong setiap individu untuk bertindak konsumtif. Akibatnya, timbul dampak negatif pada sikap, perilaku, gaya hidup, dan cara berpikir tentang hidup, baik secara individu maupun sosial.
Konsumerisme Bukan Gaya Hidup
Kemewahan, kebanggaan, dan ambisilah yang membuat orang sulit menahan keinginan membelanjakan uangnya, lebih-lebih pada momen keagamaan, seperti bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Pada bulan Ramadhan, umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 183)
Bagi kaum muslimin, bulan ini adalah bulan yang penuh berkah. Bulan ini menjadi kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah, melatih diri agar hidup lebih sederhana, menahan hawa nafsu, dan ikut merasakan kesulitan serta kekurangan yang dirasakan oleh golongan ekonomi lemah. (Majalis Ramadhan, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v)
Akan tetapi, di Indonesia yang merupakan negara muslim, budaya konsumtif justru dimulai menjelang Ramadhan. Budaya ini semakin menjadi-jadi menjelang akhir Ramadhan, mendekati Idul Fitri. Sebagian besar masyarakat, termasuk kaum muslimah, berlomba-lomba membeli barang-barang baru untuk dipakai pada hari raya. Sepertinya, esensi puasa pada bulan yang agung ini nyaris terlupakan dan terkalahkan oleh popularitas budaya konsumtif ini.
Ditambah lagi, tidak sedikit yang justru kebablasan, cenderung berlebihan dan menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang sebetulnya di luar kebutuhan. Padahal, pemborosan dan sikap berlebih-lebihan adalah perilaku yang bertolak belakang dengan Islam. Sebab, semua itu bukan gaya hidup yang diajarkan oleh Islam.
Memang, Islam telah memberikan perhatian besar terhadap kebutuhan kaum perempuan, khususnya perhiasan, kecantikan, dan pakaian, melebihi perhatiannya terhadap kebutuhan kaum lelaki. Sebab, bagi perempuan, perhiasan dan kecantikan adalah sesuatu yang sangat penting. Perempuan diciptakan oleh-Nya dengan naluri senang menampakkan perhiasan dan kecantikan.
Maka dari itu, syariat membolehkan mereka mengenakan pakaian sutra dan memakai perhiasan emas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي، وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ
“Diharamkan pakaian sutra dan perhiasan emas bagi kaum lelaki dari umatku, tetapi dihalalkan bagi kaum perempuannya.” (HR. at-Tirmidzi)
Boleh jadi, dengan alasan mempercantik diri demi menyenangkan suami, banyak muslimah yang justru berlebihan ketika membelanjakan hartanya.
Memenuhi kebutuhan untuk melangsungkan kehidupan dan menjalankan ibadah adalah hal yang diperintahkan. Akan tetapi, menghambur-hamburkan harta demi memenuhi sesuatu di luar kebutuhan adalah hal tercela, dan inilah yang disebut perilaku tabdzir dan israf.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
۞يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ٣١
“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaian kalian yang bagus setiap (kalian memasuki) masjid, dan makan sertaminumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31)
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَامٗا ٦٧
“Dan (termasuk hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, tetapi di antara keduanya secara wajar.” (al-Furqan: 67)
وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا ٢٦ إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا ٢٧
“...dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya, orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Rabbnya.” (al-Isra’: 26—27)
Selengkapnya:
http://salafybandung.com/?p=1120#more-1120
0 Response to "Budaya Konsumerisme"
Posting Komentar